
Washington – Dalam kebijakan proteksionisme ekonomi yang dicanangkan oleh pemerintahan Presiden Donald Trump, lebih dari 180 negara terkena dampak tarif impor. Meskipun banyak negara yang terpengaruh, terdapat tiga negara yang dikenal sebagai musuh Amerika Serikat namun tidak terkena tarif tersebut, yaitu Rusia, Korea Utara, dan Kuba. Hal ini menimbulkan pertanyaan terkait alasan di balik pengecualian mereka meski status hubungan diplomatiknya tidak baik.
Pertama, mari kita lihat Rusia. Negara ini tidak tercantum dalam daftar negara yang dikenai tarif tambahan oleh AS, padahal Rusia adalah salah satu negara yang selama ini sering berkonflik dengan AS. Menurut laporan Reuters, Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, menjelaskan bahwa volume perdagangan antara kedua negara sangat terbatas. Pada tahun lalu, nilai perdagangan barang antara Rusia dan AS hanya mencapai $3,5 miliar, turun drastis dari $36 miliar pada tahun 2021, sebelum invasi Rusia ke Ukraina. Kebijakan sanksi yang berat terhadap Kremlin juga membuat hubungan dagang semakin tertekan, sehingga keputusan untuk tidak menerapkan tarif tambahan dianggap tidak relevan.
Kedua, Korea Utara juga terhindar dari tarif impor tersebut. Sebagaimana diungkapkan dalam laporan dari Gedung Putih, Korea Utara sudah lebih dulu dikenai sanksi yang berat serta tarif tinggi yang membuat perdagangan dengan negara lain menjadi minim. Seorang pejabat Gedung Putih, yang meminta namanya dirahasiakan, menyatakan bahwa sanksi yang ada sudah menghalangi perdagangan yang berarti, sehingga penambahan tarif menjadi tidak perlu. Kebijakan ini sejalan dengan pendekatan Trump yang cenderung lebih agresif terhadap sekutu internasional, sementara pada saat yang sama berusaha untuk bersikap lebih lunak terhadap musuh tradisional.
Ketiga, Kuba juga tidak termasuk dalam daftar negara yang dikenakan tarif baru. Hal ini disebabkan oleh embargo ekonomi yang telah berlangsung lama, yang membatasi hampir semua kegiatan perdagangan antara AS dan Kuba. Sebab, hubungan dagang antara kedua negara sangat terbatas, sehingga implementasi tarif tambahan tidak akan berdampak signifikan. Kebijakan ini mencerminkan bahwa Kuba dianggap tidak relevan dalam konteks hubungan ekonomi dengan AS.
Dalam konteks yang lebih luas, pengecualian ketiga negara ini dari tarif impor dapat dipahami sebagai strategi yang lebih besar dalam kebijakan luar negeri AS. Meski kini mereka tidak dikenai beban tambahan, tidak menutup kemungkinan bahwa di masa depan AS akan mempertimbangkan penerapan tarif serupa terhadap Rusia, Korea Utara, ataupun Kuba. Kebijakan proteksionisme yang diambil oleh Trump terlihat cukup selektif, dengan memfokuskan tarif pada negara yang memiliki hubungan perdagangan yang lebih signifikan.
Situasi ini menunjukkan betapa kompleksnya dinamika hubungan internasional dan ekonomi. Penerapan tarif sering kali tidak hanya didasarkan pada data ekonomi, tetapi juga pada pertimbangan politik dan strategi jangka panjang. Ketiga negara tersebut tetap menjadi sorotan dalam pembicaraan mengenai kebijakan luar negeri AS, terutama dalam konteks perdagangan dan keamanan global. Kehadiran mereka dalam diskusi tentang tarif impor menciptakan ruang bagi mula pemikiran baru tentang bagaimana AS dapat berinteraksi dengan negara-negara yang memiliki perbedaan ideologi dan tujuan politik yang jelas. Seiring waktu, dapat dipastikan bahwa hubungan ini akan terus berkembang, mengikuti perubahan kondisi politik baik di dalam maupun luar negeri.