![4 Masalah Sistem Pajak Coretax: Analisis Ekonom UGM yang Menarik](https://podme.id/wp-content/uploads/2025/02/4-Masalah-Sistem-Pajak-Coretax-Analisis-Ekonom-UGM-yang-Menarik.jpg)
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan Republik Indonesia telah resmi meluncurkan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (Coretax) sejak awal Januari 2023. Namun, dalam perjalanannya, sistem yang diharapkan dapat memperbaiki pengelolaan pajak di Tanah Air ini ternyata menghadapi berbagai masalah. Econom UGM, Rijadh Djatu Winardi, mengemukakan bahwa implementasi sistem perpajakan ini terkesan terburu-buru dan kurang siap, mengingat pelaksanaannya dilakukan dalam waktu yang sangat singkat.
Rijadh menegaskan bahwa terdapat empat masalah utama yang menjadi sorotan berkaitan dengan Coretax. Berikut adalah detail dari masalah-masalah tersebut:
Sistem Belum Siap
Salah satu masalah utama adalah kesiapan sistem Coretax untuk menangani akses yang massal. Sejak diluncurkan, terjadi lonjakan traffic secara real-time yang menyebabkan bottleneck pada jaringan. Hal ini memperlambat waktu respons server, sehingga sulit diakses oleh pengguna.Adanya Bug
Dalam pengoperasiannya, Coretax juga menghadapi kendala berupa bug yang ditemukan pada beberapa fungsi penting sistem. Proses pelaporan, validasi data, dan otomatisasi perpajakan mengalami kendala seperti kesalahan runtime dan gagal validasi data. Rijadh mencatat bahwa proses quality assurance (QA) dan user acceptance testing (UAT) belum sepenuhnya dilakukan sehingga berkontribusi pada masalah ini.Kapasitas Tak Mencukupi
Rijadh menyampaikan bahwa kapasitas sistem Coretax yang tidak mencukupi serta arsitektur yang tidak efisien menjadi masalah serius. Desain sistem yang tidak siap untuk skalabilitas tinggi mengakibatkan terjadinya gangguan layanan saat volume data meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa infrastruktur server yang digunakan belum dioptimalkan untuk memproses data dalam jumlah besar.- Basis COTS
Terakhir, penggunaan Commercial Off-The-Shelf (COTS) software sebagai basis pengembangan Coretax diakui menjadi kelemahan tersendiri. Rijadh menjelaskan bahwa COTS hanya memberikan solusi generik, sementara perpajakan di Indonesia memiliki karakteristik unik yang memerlukan penyesuaian khusus. Oleh karena itu, diperlukan rollout program yang bertahap sampai sistem ini benar-benar siap digunakan.
Rijadh berpendapat bahwa meski terdapat berbagai masalah, ide di balik Coretax sebetulnya strategis dan positif untuk reformasi perpajakan di Indonesia. Coretax bertujuan untuk mengatasi tax gap yang tinggi serta meningkatkan tax ratio dan kualitas data perpajakan. Sistem ini diharapkan dapat menghasilkan efisiensi lebih baik dan transparansi dalam pengelolaan data pajak.
Lebih lanjut, Rijadh menyanpaikan bahwa meski biaya proyek Coretax mencapai Rp1,3 triliun, hal ini masih tergolong hemat dibandingkan proyek serupa di negara lain yang bisa menelan biaya hingga Rp7 triliun. Namun, evaluasi menyeluruh terhadap proses implementasi sangat diperlukan untuk menemukan solusi atas masalah yang ada. Hal ini mencakup pengujian sistem yang lebih baik, pelatihan menyeluruh bagi pengguna, dan perbaikan berkelanjutan agar manfaat Coretax dapat dioptimalkan.
Komunikasi dan edukasi kepada masyarakat mengenai penggunaan sistem baru ini pun sangat penting. Rijadh percaya bahwa keberhasilan Coretax bergantung pada komitmen semua pihak untuk melakukan perbaikan secara bertahap. Menurutnya, strategi untuk menunda atau memparalelkan penggunaan Coretax dengan sistem lama merupakan langkah bijak demi meminimalkan risiko teknis operasional.
Peningkatan kualitas administrasi perpajakan di Indonesia menjadi target utama yang diharapkan dapat dicapai melalui implementasi Coretax. Dengan tekad semua pemangku kepentingan, Rijadh optimis bahwa Coretax dapat menjadi pengubah permainan dalam digitalisasi perpajakan di Indonesia, menciptakan landasan yang lebih kuat dalam pengelolaan pajak yang lebih efektif dan efisien.