
Lima pria yang ditangkap oleh pihak kepolisian Swedia atas tuduhan terlibat dalam pembunuhan Salwan Momika, yang dikenal karena tindakannya membakar Al-Qur’an, telah dibebaskan. Keputusan tersebut disampaikan oleh seorang jaksa pada tanggal 21 Maret 2025, hanya dua hari setelah penangkapan mereka yang berlangsung pada 29 Januari 2025.
Salwan Momika, seorang Kristen Irak berusia 38 tahun, menjadi sorotan dunia internasional setelah aksinya membakar Al-Qur’an pada tahun 2023 memicu protes besar dan kemarahan di berbagai negara Muslim. Momika ditembak di sebuah apartemen di Sodertalje, Stockholm, kurang dari sehari sebelum pengadilan akan memutuskan kasusnya terkait tuduhan menghasut kebencian etnis. Saat kejadian, ia sedang melakukan siaran langsung di TikTok, dan meski pihak kepolisian telah menempatkannya di lokasi rahasia untuk keamanan, penembakan tetap terjadi.
Setelah pembunuhan ini, pihak kepolisian Swedia menangkap lima pria yang diduga terkait dengan peristiwa tersebut. Namun, jaksa Rasmus Oman mengonfirmasi bahwa tidak ada cukup bukti untuk menahan mereka lebih lama, bahkan meski mereka memiliki pemahaman yang cukup baik tentang kejadian itu. “Saat ini tidak ada seorang pun yang ditahan atau menjadi tersangka resmi,” ungkapnya, menunjukkan ketidakpastian dalam penanganan kasus ini.
Dari perspektif hukum, ini menimbulkan pertanyaan mengenai keamanan bagi individu-individu yang terlibat dalam tindakan yang dianggap provokatif terhadap agama tertentu. Pembakaran Al-Qur’an oleh Momika dan rekan-rekannya telah memicu reaksi keras dari banyak negara, yang berujung pada demonstrasi dan serangan terhadap kedutaan besar Swedia, termasuk serangan yang terjadi di Irak.
Konsekuensi dari pembunuhan Momika bukan hanya menyangkut tindakan kriminal, tetapi juga menciptakan ketegangan baru dalam hubungan diplomatik Swedia dengan negara-negara Timur Tengah. Pengadilan di Stockholm bahkan sempat menunda putusannya terkait kasus Salwan Najem, rekan Momika, yang telah dihukum di pengadilan atas tuduhan menghasut kebencian etnis.
Kisah ini tak lepas dari gambaran lebih luas mengenai keterkaitan antara kebebasan berekspresi dan penghormatan terhadap keyakinan agama. Wakil Perdana Menteri Swedia, Ebba Busch, menyatakan bahwa pembunuhan ini merupakan ancaman bagi demokrasi yang bebas, sedangkan Perdana Menteri Ulf Kristersson menyoroti risiko hubungan dengan kekuatan asing sebagai dampak dari situasi ini.
Keputusan untuk membebaskan para tersangka menimbulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat, terutama di kalangan kelompok-kelompok yang merasa tertekan akibat tindakan semacam ini. Sementara itu, dinas intelijen Swedia Sapo telah menaikkan level ancaman negara menjadi tinggi, menunjukkan bahwa pembakaran Al-Qur’an membuat Swedia menjadi “target prioritas” untuk kemungkinan serangan balasan.
Kisah ini pun menggambarkan bagaimana tindakan provokatif di dunia digital dapat memiliki konsekuensi tragis dalam kehidupan nyata. Di satu sisi, ada kebebasan berekspresi yang dijunjung tinggi, namun di sisi lain, ada tanggung jawab moral untuk mempertimbangkan dampak dari setiap tindakan, terutama yang dapat menyinggung perasaan umat agama lain.
Situasi di Swedia terkait kebebasan berekspresi, terutama di konteks agama, menjadi sangat pelik dan memerlukan perhatian lebih lanjut. Dengan tindakan kekerasan dan reaksi masyarakat yang meningkat, penting bagi semua pihak untuk menemukan jalan tengah yang tidak hanya mengayomi kebebasan individu, tetapi juga menghormati keyakinan dan pandangan hidup yang berbeda. Hal ini menjadi tantangan bagi pemerintah, lembaga hukum, dan masyarakat secara keseluruhan dalam menjaga stabilitas dan harmoni sosial.