
Mantan Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, kini terjerat dalam masalah hukum yang serius setelah ditangkap di Bandara Manila pada 11 Maret 2025. Penangkapannya dilakukan atas permintaan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) terkait dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan selama kampanye "perang melawan narkoba" yang diluncurkannya selama masa kepemimpinan dari 2016 hingga 2022. Penangkapan ini menambah babak baru dalam kontroversi seputar kebijakan brutal yang mengakibatkan kematian lebih dari 30.000 orang di Filipina.
Berikut adalah tujuh fakta mengerikan terkait penangkapan Duterte dan kebijakan yang dilaksanakannya:
Penangkapan di Bandara
Duterte ditangkap tepat setelah kembali dari Hong Kong. Penangkapan ini dilakukan berdasarkan surat perintah dari ICC melalui Interpol, dan pemerintah Filipina mengonfirmasi bahwa jaksa agung telah memberikan pemberitahuan resmi terkait hal tersebut.Skala Pembantaian dalam Perang Narkoba
Kebijakan Duterte yang dikenal sebagai ‘perang melawan narkoba’ telah menimbulkan banyak korban jiwa. Sumber resmi dari kepolisian menyebutkan lebih dari 7.000 orang tewas, tetapi kelompok hak asasi manusia menilai angka sebenarnya bisa mencapai 30.000 orang, yang mencakup warga sipil dan anak-anak. Banyak korban ditemukan tewas tanpa proses hukum yang wajar.Dugaan Pengaruh Meski Sudah Lengser
Meski sudah tidak berkuasa, pengaruh politik Duterte tetap signifikan. ICC menganggap penangkapannya penting untuk mencegah intervensi yang mungkin mengganggu penyelidikan serta melindungi para saksi dan korban dari potensi ancaman.Menghindari Tanggung Jawab Hukum
Duterte menarik Filipina dari Statuta Roma pada tahun 2019, yang dinilai sebagai upaya untuk menghindari tanggung jawab atas kejahatan yang dilakukannya. Meski begitu, pada 2023, hakim banding ICC menolak klaim pemerintah Filipina untuk menghentikan penyelidikan, menegaskan bahwa ICC memiliki hak untuk campur tangan ketika suatu negara tidak mampu mengadili pelaku kejahatan berat.Reputasi Sebagai Pemimpin Keras
Sebelum menjabat sebagai presiden, Duterte dikenal sebagai wali kota Davao yang menerapkan kebijakan serupa dalam menangani kejahatan. Banyak yang menganggap kebijakan tersebut melibatkan tindakan brutal dan regu pembunuh untuk menghabisi para tersangka kriminal. Meski klaimnya tentang penurunan angka kriminalitas, banyak kritik menyebut kebijakan ini lebih menyasar masyarakat miskin daripada aktor-aktor utama dalam peredaran narkoba.Sikap Tak Menyesal atas Kebijakan
Duterte secara terbuka menyatakan bahwa ia tidak menyesali kebijakan yang diambilnya selama ini. Dalam beberapa kesempatan, ia menegaskan sikapnya untuk tidak meminta maaf atas tindakan yang diambil demi kepentingan negara. Penangkapan ini menjadi momen bersejarah yang berpotensi membawa keadilan bagi ribuan korban kebijakannya.- Reaksi Positif dari Organisasi Hak Asasi Manusia
Organisasi Human Rights Watch menyambut baik penangkapan ini, dengan harapan bahwa hal ini dapat mendekatkan korban dan keluarga mereka pada keadilan. Bryony Lau, wakil direktur HRW untuk Asia, menyatakan bahwa penangkapan Duterte mengirimkan pesan bahwa tidak ada individu yang kebal hukum.
Kasus Rodrigo Duterte menggarisbawahi tantangan besar dalam penegakan hukum dan hak asasi manusia di Filipina. Penangkapan ini diharapkan membawa perubahan dan keadilan bagi banyak orang yang tak bersalah yang menjadi korban kebijakan brutalnya selama masa pemerintahan. Sebagai mantan pemimpin, tindakan ini pun berfungsi sebagai pengingat bagi komunitas internasional tentang pentingnya akuntabilitas dalam pemerintahan.