Gagal memenuhi kewajiban utang menjadi penyebab utama kebangkrutan sejumlah negara, dengan faktor-faktor internal dan eksternal yang saling berinteraksi. Beberapa negara menghadapi kondisi ekonomi yang memburuk akibat kebijakan yang buruk, korupsi, serta ketergantungan yang berlebihan pada utang luar negeri. Di sisi lain, kondisi global, fluktuasi harga komoditas, dan krisis keuangan turut memperparah situasi ekonomi. Berikut adalah tujuh negara yang pernah mengalami kebangkrutan karena gagal memenuhi kewajiban utang mereka.
1. Sri Lanka: Krisis ekonomi parah di tahun 2022
Sri Lanka dinyatakan bangkrut pada tahun 2022 setelah gagal membayar utang luar negeri sebesar US$ 51 miliar (sekitar Rp 816 triliun). Perdana Menteri Sri Lanka, Ranil Wickremesinghe, menyatakan bahwa ini merupakan salah satu krisis terburuk dalam sejarah negara tersebut. Untuk menangani krisis ini, Sri Lanka mengajukan dana talangan dari Dana Moneter Internasional (IMF) dan menerapkan restrukturisasi utang serta kontrol inflasi. Diperkirakan, negara ini akan dapat pulih pada tahun 2026.
2. Lebanon: Krisis ekonomi dan konflik sosial
Lebanon mengalami kebangkrutan pada tahun 2020 setelah gagal membayar utang sebesar US$ 90 miliar (Rp 1.440 triliun), yang setara dengan 170% dari Produk Domestik Bruto (PDB) negara tersebut. Ketidakpuasan masyarakat semakin meningkat setelah pemerintah mengumumkan pajak baru, termasuk pajak penggunaan aplikasi WhatsApp, yang memicu protes massal. Nilai mata uang Lebanon anjlok hingga 90%, dan dengan kondisi konflik bersenjata yang berkepanjangan, pemulihan Lebanon terbilang sangat sulit hingga saat ini.
3. Islandia: Bangkit dari kebangkrutan 2008
Pada tahun 2008, Islandia menghadapi kebangkrutan ketika utang negara mencapai US$ 85 miliar (sekitar Rp 1.360 triliun), sepuluh kali lipat dari PDB negara tersebut. Krisis ini diakibatkan oleh kebangkrutan tiga bank terbesar di Islandia, yang menyebabkan depresi ekonomi. Namun, dengan langkah pemulihan yang tepat, negara ini berhasil kembali stabil. Pada tahun 2014, ekonomi Islandia tumbuh 1% lebih besar dibandingkan sebelum krisis, dan pada tahun 2023 tercatat pertumbuhan ekonomi mencapai 5%.
4. Argentina: Krisis utang terbesar di tahun 2001
Argentina mengalami kebangkrutan pada tahun 2001 dengan utang sebesar US$ 145 miliar (sekitar Rp 2.320 triliun). Kebijakan pemerintah yang berupaya untuk mempertahankan nilai tukar tetap peso terhadap dolar AS menyebabkan peningkatan utang publik. Korupsi yang merajalela memperburuk situasi. Meskipun Argentina meluncurkan berbagai paket ekonomi untuk mengatasi krisis, negara ini masih berjuang menghadapi inflasi tinggi dan tingkat pengangguran yang signifikan.
5. Rusia: Krisis rubel 1998
Rusia mengalami kebangkrutan pada tahun 1998, yang merupakan yang kesembilan kalinya bagi negara tersebut. Krisis ini dipicu oleh efek domino krisis keuangan Asia dan penurunan harga minyak dunia, menyebabkan utang Rusia mencapai US$ 17 miliar (Rp 270 triliun). Inflasi melonjak hingga 80% dan bursa saham kehilangan 75% nilainya. Meskipun demikian, pada tahun 2024, ekonomi Rusia menunjukkan tanda pemulihan dengan pertumbuhan 4,2%, didorong oleh sektor manufaktur dan minyak.
6. Meksiko: Krisis utang pada 1982
Meksiko dinyatakan bangkrut pada tahun 1982 akibat gagal membayar utang sebesar US$ 80 miliar (sekitar Rp 1.280 triliun). Krisis ini dimulai dengan depresiasi peso yang mencapai 50% dan ekspansi fiskal besar-besaran oleh pemerintah. Kebangkrutan Meksiko berimbas pada negara-negara di Amerika Latin lainnya, memicu krisis utang yang lebih luas. Namun, Meksiko belajar dari pengalaman tersebut dan kini telah menjelma menjadi ekonomi terbesar ke-12 dunia dengan fokus pada sektor manufaktur dan investasi asing.
7. Zimbabwe: Krisis ekonomi 2008
Zimbabwe mencatatkan kebangkrutan pada tahun 2008 dengan utang sebesar US$ 4,5 miliar (sekitar Rp 71,55 triliun). Kondisi ekonomi semakin memburuk dengan tingkat pengangguran yang mencengangkan hingga 80% dan hiperinflasi yang membuat mata uang negara ini tidak lagi bernilai. Dalam situasi tersebut, masyarakat terpaksa menggunakan sistem barter sebagai alternatif transaksi.
Melalui contoh tujuh negara ini, terlihat jelas betapa pentingnya pengelolaan utang yang bijaksana dan kebijakan ekonomi yang cermat. Walaupun krisis ekonomi dapat menghancurkan, sejumlah negara menunjukkan bahwa dengan strategi pemulihan yang tepat, kebangkitan ekonomi selalu dimungkinkan di masa depan.