
Mahkamah Konstitusi (MK) baru-baru ini memutuskan bahwa norma Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) inkonstitusional bersyarat. Keputusan ini memberikan dampak signifikan terhadap industri asuransi di Indonesia, terutama dalam hal pembatalan kontrak polis asuransi. Ahli hukum dan pengacara Ricardo Simanjuntak mengingatkan bahwa keputusan ini dapat menyebabkan lonjakan besar dalam jumlah sengketa klaim yang diajukan ke pengadilan.
Dalam pernyataannya, Ricardo menjelaskan bahwa jika setiap kontrak polis asuransi dibatalkan melalui pengadilan, maka pengadilan akan menghadapi beban yang sangat berat. “Kita hitung saja, pengadilan bakalan sanggup tidak? Misalnya, contoh, kalau sekarang itu ada sekitar 165 perusahaan asuransi, baik asuransi jiwa dan umum. Saya sudah tanya, kemungkinan dalam sebulan itu bisa tiga penolakan untuk satu perusahaan asuransi. Nah, kalau tiga dikali 165 itu kira-kira 500 sebulan. Setahun 6.000,” ujarnya.
Lebih lanjut, Ricardo menegaskan bahwa pembatalan kontrak semacam itu harus diajukan ke pengadilan negeri dalam bentuk gugatan, sehingga selama proses hukum ini, banyak kasus yang harus menunggu keputusan pengadilan, bahkan bisa hingga 3-5 tahun. “Sanggup tidak pengadilan?” tegasnya.
Satu hal yang menjadi perhatian Ricardo adalah implikasi dari keputusan MK tersebut terhadap kontrak-kontrak lain di sektor yang berbeda, seperti perbankan, konstruksi, dan migas. Dia mempertanyakan, “Apakah ini juga harus sama? Nah, kalau ini bisa jutaan gugatan setiap tahun.” Kondisi ini berpotensi membuat sistem peradilan Indonesia semakin tertekan.
Ricardo mengilustrasikan bagaimana mengurus perkara di pengadilan bisa menjadi sangat rumit dan memakan waktu. Ia mencontohkan kasus di India, di mana satu perkara di pengadilan tingkat negeri bisa memakan waktu hingga 10 tahun untuk diputuskan. Dengan populasi yang besar, India gencar menerapkan mediasi sebagai solusi untuk menyelesaikan sengketa hukum secara lebih cepat. “Karena itu satu-satunya cara untuk bisa mendapatkan putusan dengan lebih cepat,” tambahnya.
Sebagai solusi yang lebih ideal dalam menghadapi keputusan MK, Ricardo mengusulkan pembatalan kontrak polis asuransi melalui kesepakatan bersama, bukan melalui pengadilan. Dia mengatakan penting bagi perusahaan asuransi dan nasabah untuk memperjelas klausul dalam kontrak asuransi, misalnya dalam Surat Pengajuan Asuransi Jiwa (SPAJ).
Menurutnya, “Kalau kita baca pada literal putusan MK seakan-akan lewat pengadilan. Dia kan cuma menjelaskan dua, kalau tidak kesepakatan bersama wajib melalui pengadilan. Jadi, pengadilan itu demi hukum. Dasar hukumnya 1266 perdata.” Dalam hal ini, Ricardo menekankan pentingnya kesepakatan antara kedua belah pihak sebagai syarat sahnya pembatalan kontrak.
Kondisi ini menimbulkan kegelisahan dalam industri asuransi, di mana banyak yang khawatir tentang potensi lonjakan sengketa klaim yang bisa membebani sistem peradilan. Para ahli hukum dan praktisi di bidang asuransi saat ini berada dalam posisi untuk mencari metode alternatif dalam menyelesaikan sengketa.
Dengan keputusan MK yang baru, industri asuransi perlu beradaptasi dan menggali mekanisme penyelesaian klaim yang lebih efektif. Ke depan, penyesuaian serta peningkatan komunikasi dan pemahaman antara perusahaan asuransi dan nasabah menjadi krusial. Hal ini tidak hanya akan membantu mengurangi beban di pengadilan, tetapi juga menjaga kepercayaan masyarakat terhadap industri asuransi di Indonesia.