Perusahaan kecerdasan buatan (AI) asal China, DeepSeek, kini menjadi sorotan dunia setelah klaim bahwa produk AI mereka lebih efisien dan lebih murah dibandingkan dengan yang ditawarkan oleh OpenAI, raksasa teknologi asal Amerika Serikat. Menurut laporan yang dipublikasikan oleh Global Times pada 26 Januari 2025, DeepSeek sudah berhasil mengembangkan sistem AI yang mampu bersaing di level yang setara dengan model-model open-source yang dihasilkan oleh OpenAI.
Kehadiran DeepSeek, yang berkantor pusat di Hangzhou, memungkinkan mereka untuk menciptakan produk AI dengan biaya pelatihan yang lebih rendah, yang dinilai dapat mendefinisikan ulang dinamika dalam pengembangan teknologi kecerdasan buatan. “Model AI murah dan sumber terbuka milik China, DeepSeek, menggetarkan para ilmuwan di seluruh dunia,” tulis laporan Nature, menekankan dampak signifikan yang ditimbulkan oleh kemajuan teknologi ini.
Sebagai langkah terbarunya, DeepSeek meluncurkan model AI skala besar bernama DeepSeek-V3 pada Desember 2024. Produk ini langsung menarik perhatian para penggemar dan pelaku industri AI, hingga memicu perbincangan yang meluas di platform media sosial internasional. Namun, meski berhasil mengembangkan teknologi yang kompetitif, DeepSeek masih harus menghadapi tantangan dari pembatasan ketat terhadap semikonduktor yang diterapkan oleh pemerintah AS.
Salah satu tokoh yang mengamati perkembangan ini adalah Tian Feng, mantan Dekan Institut Riset Industri Kecerdasan di perusahaan perangkat lunak AI, SenseTime. Menurutnya, kehadiran DeepSeek membawa tekanan yang belum pernah terjadi sebelumnya pada perusahaan-perusahaan AI di AS. “Pendekatan yang diambil DeepSeek telah memberi tekanan yang belum pernah terjadi sebelumnya pada perusahaan AI AS, karena kemungkinan akan menarik lebih banyak pengguna dan pengembang global untuk berpartisipasi dalam pengembangan AI kelas atas,” ujar Feng.
Dari segi teknis, DeepSeek menunjukkan kapabilitas di berbagai bidang, termasuk kimia, matematika, dan pengkodean yang setara dengan model-model AI terkemuka di dunia. Hal ini mencerminkan bahwa berbagai upaya AS dalam mempertahankan keunggulan mereka di sektor ini mungkin tidak seefektif yang diharapkan.
Li Baiyang, seorang profesor di Univeritas Nanjing, menilai bahwa pendekatan teknologi yang diambil oleh DeepSeek tidak hanya menantang dominasi teknologi AI asal AS, tetapi juga menunjukkan bahwa pembatasan chip yang diterapkan oleh AS mungkin tidak memadai. “AS tengah berusaha mempertahankan dominasi di bidang AI melalui berbagai kebijakan dan peraturan administratif, namun persaingan sehat antara China dan AS dalam AI juga tergantung pada sikap AS,” katanya.
Dalam konteks yang lebih luas, Presiden AS Donald Trump baru-baru ini mengumumkan investasi sebesar US$500 miliar untuk infrastruktur AI di AS. Investasi ini termasuk pembentukan perusahaan baru bernama Stargate, yang berkolaborasi dengan tiga perusahaan teknologi terkemuka dalam mengembangkan infrastruktur AI di negeri Paman Sam. Hal ini menunjukkan bahwa AS berupaya memperkuat posisinya di pasar AI global, meskipun tantangan dari DeepSeek dapat memicu berbagai perubahan dalam lanskap industri ini.
Dari sudut pandang ekonomi, situasi ini membuka peluang bagi kedua negara untuk berkolaborasi dalam banyak aspek, terutama dalam hal tata kelola teknologi AI. Meskipun ada ketegangan yang jelas, diskusi dan kerjasama antara China dan AS di bidang AI memiliki potensi untuk menciptakan solusi yang saling menguntungkan bagi kedua belah pihak.
Dengan demikian, kehadiran DeepSeek sebagai penantang baru di industri kecerdasan buatan global memberikan sinyal bahwa persaingan dalam sektor ini semakin ketat. AS mungkin perlu meninjau kembali strategi mereka untuk mempertahankan keunggulan, sambil tetap membuka pintu untuk kolaborasi dengan China dan negara-negara lain.