
Indonesia memiliki potensi besar untuk memanfaatkan kecerdasan buatan (AI) sebagai motor penggerak pertumbuhan ekonomi di era digital saat ini. Meskipun adopsi AI di Indonesia tergolong masih awal, dengan hanya 13% bisnis yang berada pada tahap adopsi AI tingkat lanjut, lebih dari 80% pelaku usaha mulai berinvestasi dalam teknologi ini. Hal ini menunjukkan kesadaran yang meningkat akan pentingnya AI dalam meningkatkan efisiensi operasional dan daya saing bisnis.
Data dari Oliver Wyman menunjukkan bahwa 50% karyawan Indonesia menggunakan AI setidaknya sekali dalam seminggu, melebihi rata-rata global yang hanya 40%. Angka tersebut semakin diperkuat oleh hasil survei Microsoft dan LinkedIn tahun 2024, di mana 92% pekerja di Indonesia memanfaatkan generatif AI dalam menjalankan tugas mereka. Persentase ini juga melampaui rata-rata global sebesar 75%.
Dengan prediksi dari McKinsey Global Institute bahwa AI dapat menyumbang hingga US$ 13 triliun terhadap ekonomi global pada tahun 2030, sementara laporan dari PwC menunjukkan estimasi yang lebih tinggi yakni US$ 15,7 triliun, jelas bahwa potensi ekonomi AI sangat besar. Di Indonesia, riset Kearney memperkirakan penggunaan AI akan berkontribusi sekitar US$ 366 miliar atau 12% terhadap perekonomian nasional pada tahun 2030. Namun, posisi Indonesia masih berada di peringkat ke-46 dari 62 negara dalam hal adopsi AI menurut Global AI Index 2023.
Keberhasilan penyebaran AI di Indonesia tidak lepas dari inisiatif yang dilakukan oleh berbagai pihak. Menurut Adrian Lesmono, Country Consumer Business Lead NVIDIA, penerapan AI harus disesuaikan dengan prioritas pembangunan nasional. Untuk itu, langkah konkret sudah mulai dilakukan melalui pembentukan Kolaborasi Riset & Inovasi Industri Kecerdasan Artifisial (KORIKA), yang bertujuan untuk menjembatani kesenjangan antara pemerintah, industri, akademisi, dan masyarakat.
Penguatan kedaulatan dalam bidang AI juga sangat penting. Tenaga Ahli Utama Kantor Komunikasi Kepresidenan, Insaf Albert Tarigan, menekankan perlunya penyempurnaan strategi pemanfaatan AI nasional. Ia menjelaskan pentingnya pemerintah dalam menciptakan kebijakan yang mendukung kolaborasi dengan mitra global untuk memaksimalkan transfer teknologi dan investasi.
Adopsi AI dapat dibagi menjadi tiga kategori yakni:
Taker: Menggunakan model-model yang sudah ada dengan sedikit atau tanpa kustomisasi. Contohnya asisten coding dan chatbot.
Shaper: Mengintegrasikan model AI dengan data dan sistem internal untuk menciptakan solusi yang lebih sesuai dengan kebutuhan spesifik.
- Maker: Membangun model dasar AI yang dirancang untuk menyelesaikan masalah bisnis tertentu, seperti diagnosis dalam bidang kesehatan.
Perusahaan seperti Indosat Ooredoo Hutchison dan GoTo Gojek Tokopedia telah mengimplementasikan AI dalam operasional mereka. Indosat memanfaatkan AI untuk meningkatkan layanan pelanggan dan membangun ekosistem yang inklusif dengan mengembangkan talenta dan melakukan pelatihan, sementara GoTo menggunakan AI untuk mempersonalisasi pengalaman pelanggan dan memprediksi permintaan.
Namun, tantangan dalam adopsi AI tidak boleh diabaikan. Sri Safitri dari KORIKA mengungkapkan bahwa keterbatasan sumber daya manusia yang terampil dalam bidang AI masih menjadi hambatan utama. Total keahlian dalam bidang AI di Indonesia sangat terbatas, dan program studi khusus baru mulai berkembang. Selain itu, infrastruktur digital yang kurang memadai, kekurangan pendanaan untuk riset, serta regulasi yang belum sepenuhnya mendukung juga merupakan tantangan signifikan.
Dengan dukungan strategi pemerintah, kolaborasi industri, dan peningkatan keterampilan tenaga kerja, AI bisa menjadi alat pemberdaya untuk Indonesia guna mencapai pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Penerapan yang tepat dapat menciptakan akselerasi inovasi dan kontribusi positif terhadap perekonomian nasional, menjadikan AI sebagai salah satu pilar utama dalam perjalanan transformasi ekonomi Indonesia ke depan.