Air Mata dan Tekad: Warga Gaza Kembali Pulang ke Kota Hancur

Ribuan warga Palestina mulai kembali ke rumah mereka di Jalur Gaza utara pasca-gencatan senjata yang rapuh, setelah lebih dari setahun terpaksa mengungsi akibat konflik yang berkepanjangan. Dengan semangat dan harapan yang membara, mereka menelusuri puing-puing rumah yang dihancurkan oleh penembakan Israel sejak dimulainya perang pada 7 Oktober 2023. Momen emosional ini ditandai dengan pertemuan hangat antara keluarga yang terpisah, dengan tangisan haru dan bendera Palestina yang berkibar tinggi.

Hala Abdel Aal, seorang pemuda berusia 20 tahun, merupakan salah satu dari ribuan orang yang menunggu di jalan untuk menggapai kembali rumahnya. “Saya tidak percaya saya akhirnya kembali ke Gaza. Saya telah menunggu hari ini selama lebih dari setahun,” katanya. Harapan dan tekad Abdel Aal untuk membangun kembali kotanya tetap kuat meskipun ia menyaksikan kerusakan yang terjadi. “Kota ini adalah yang tercinta. Kami akan membangunnya kembali dengan tangan kami sendiri,” ungkapnya, menunjukkan semangat juang yang tak padam.

Di sinilah para pengungsi menghadapi perjalanan yang sulit dan panjang. Meskipun jarak tempuhnya jauh, banyak dari mereka memilih untuk berjalan kaki daripada menggunakan kendaraan. Alasan utamanya adalah biaya transportasi yang tinggi dan kendala di pos pemeriksaan yang menyita waktu. Atas pilihan tersebut, Ataf Al-Saada, seorang wanita berusia 50 tahun yang berjalan lebih dari tujuh jam hanya untuk kembali ke putrinya, menyatakan, “Kegembiraan untuk kembali jauh lebih besar daripada rasa lelah.”

Namun, perjalanan ini tidaklah mudah. Ali Bakr, yang mengandalkan kruk akibat cedera, tetap nekat melanjutkan langkahnya kembali ke Kota Gaza. Kesedihan dan penderitaan yang dialaminya selama pengungsian tidak menghentikan semangatnya. “Saya sudah cukup menderita. Hari ini, kami akhirnya kembali,” ujarnya, seolah tak mengenal batasan yang menghalangi langkahnya.

Di tengah perayaan dan haru, muncul rasa kepedihan yang mengiringi perjalanan mereka. Banyak yang kembali ke rumah dengan kehilangan yang mendalam. Abdullah Mahmoud mengingat saat-saat pahit ketika ia dipaksa untuk mengungsi, bahkan saat konflik sedang berkecamuk. “Hari ini, saya merasa seperti terlahir kembali,” ujarnya, menggambarkan kontras antara rasa bahagia dan luka lama.

Dalam kerumunan yang penuh harapan ini, Umm Ahmad, seorang ibu yang sudah lebih dari 15 bulan tidak melihat anaknya, menunggu dengan cemas. “Saya sangat takut,” katanya, matanya melotot, berharap anaknya muncul di antara kerumunan. Sebuah harapan yang tidak pasti meringankan kesedihannya di tengah kegembiraan umum.

Yara Al-Joju, seorang gadis muda, mengisahkan kepedihan kehilangan yang menyelimutinya. “Kakak saya yang berjuang melawan kanker seharusnya ada di sini, ia meninggal sebulan yang lalu. Saya sangat berharap ia bisa melihat hari ini,” ucapan tersebut mengalir dari bibirnya dengan air mata yang tak tertahan.

Kisah-kisah ini adalah cerminan dari luka yang mendalam di hati warga Gaza. Jawad Mohammad, yang kehilangan ibunya tak lama setelah pengungsian, berbagi rasa sakitnya. “Saya tidak sempat mengucapkan selamat tinggal. Sekarang saya hanya bisa mengunjungi makamnya,” sesalnya dengan suara berat.

Kembali ke rumah di tengah puing-puing yang tersisa adalah perjalanan yang sarat dengan air mata, tekad, dan kehilangan. Warga Gaza, meskipun dikelilingi oleh kehampaan, berpegang pada harapan bahwa mereka dapat membangun kembali, merajut masa depan dari sisa-sisa yang tersisa. Kembali ke tanah air bukan hanya sekadar perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan emosi yang mendalam, di mana mereka mengukir harapan di antara reruntuhan.

Exit mobile version