Sains

Akhirnya Terjawab! Rahasia Sains di Balik Sidang Isbat Ramadan

Sidang Isbat yang diadakan oleh Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag) selalu menjadi sorotan publik, terutama menjelang Ramadan dan Idul Fitri. Dalam sidang ini, berbagai metode penentuan awal bulan hijriah dijelaskan, membuka pemahaman lebih dalam mengenai keterkaitan antara sains dan syariat dalam menentukan waktu yang penting bagi umat Islam.

Salah satu pertanyaan yang sering diajukan pada sidang ini adalah mengapa penentuan awal bulan tidak dapat seragam seperti kalender Masehi. Muhammad Yusuf, seorang astronom dari Observatorium Bosscha, memberikan penjelasan dengan menyoroti perubahan penampakan bulan yang menjadi dasar penanggalan kalender hijriah. "Bulan mengalami fase dari tidak tampak, menjadi sabit tipis, melebar, hingga kembali menjadi tidak tampak," ujarnya pada acara Catch the Moon yang dihadiri sekitar 1.000 peserta.

Di Indonesia, terdapat tiga metode umum untuk menentukan awal bulan Hijriah: Rukyatul Hilal, Hisab Wujudul Hilal, dan Imkanur Rukyat.

  1. Rukyatul Hilal: Metode ini melibatkan pengamatan hilal (bulan sabit) secara langsung pada sore tanggal 29 bulan kamariah. Jika hilal terlihat, bulan baru dimulai, namun jika tidak, maka bulan akan digenapkan menjadi 30 hari. Ini adalah metode yang digunakan oleh Nahdlatul Ulama (NU).

  2. Hisab Wujudul Hilal: Metode ini memperhitungkan posisi bulan secara astronomis, digunakan oleh Muhammadiyah. Bulan baru dimulai pada hari ke-29 ketika terjadi ijtimak dan posisi bulan di atas ufuk saat matahari terbenam.

  3. Imkanur Rukyat: Metode ini ditetapkan oleh MABIMS (Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura). Kriteria yang digunakan mencangkup ketinggian hilal, elongasi, dan umur bulan. Saat ini, ketinggian hilal yang disepakati adalah 3 derajat.

Perbedaan dalam kriteria dan metode yang digunakan inilah yang sering kali mengakibatkan ketidaksamaan dalam menentukan awal bulan, termasuk Ramadan dan Idul Fitri. Meskipun demikian, semua metode tersebut saling menghormati dan memberikan kontribusi pada khazanah Islam.

Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag, Abu Rokhmad, menjelaskan bahwa integrasi antara hisab dan rukyat bukan sekadar formalitas. Ia menekankan pentingnya kesaksian langsung dalam pendekatan ilmiah yang memadukan sains dan syariat. “Rukyat juga memiliki posisi penting dalam hukum Islam, sehingga meskipun hisab menunjukkan keberadaan hilal, rukyat tetap dilakukan untuk verifikasi visual,” jelasnya.

Sidang Isbat bukan hanya sebuah agenda seremonial, tetapi berfungsi sebagai forum resmi yang mengintegrasikan metodologi ilmiah dan syariat. Setelah melakukan pemantauan hilal dan menerima laporan dari berbagai titik pengamatan, hasil sidang diharapkan bisa memberikan kepastian bagi umat dalam menjalankan ibadah puasa dan merayakan Idul Fitri dengan waktu yang tepat.

Manfaat dari sidang ini sangat besar, karena memberikan kepastian yang diperlukan untuk umat Islam dalam melaksanakan salah satu rukun Islam, yaitu puasa. Setiap tahun, sidang ini menjadi titik temu bagi para ahli fikih, astronom, serta perwakilan dari lembaga pemerintah dan nonpemerintah untuk mencapai kesepakatan berdasarkan prinsip-prinsip ilmiah dan hukum Islam.

Dengan demikian, pemahaman tentang ilmu falak dan astronomi dalam pengamatan hilal diharapkan dapat mengurangi kebingungan dalam penentuan awal bulan. Masyarakat dapat lebih mendalami aspek sains di balik tradisi keagamaan ini, mendorong diskusi yang lebih luas mengenai integrasi ilmu pengetahuan dengan praktik keagamaan. Keterlibatan generasi muda dalam acara seperti Catch the Moon menunjukkan harapan akan masa depan yang lebih beberapa dan peka terhadap ilmu pengetahuan serta spiritualitas.

Maya Putri adalah seorang penulis di situs Media Massa Podme. Podme.id adalah portal berita informasi dan aplikasi podcast gaya hidup dan hiburan terdepan di Indonesia.

Berita Terkait

Back to top button