
Para pengunjuk rasa Israel kembali menggelar aksi protes di berbagai kota, termasuk Tel Aviv dan al-Quds, untuk mengekspresikan kemarahan terhadap Perdana Menteri Benjamin Netanyahu. Protes ini muncul setelah Netanyahu memutuskan untuk melanjutkan serangan di Jalur Gaza, yang telah menimbulkan banyak korban jiwa, di tengah meningkatnya kecemasan tentang nasib tahanan Israel yang masih ditahan di wilayah tersebut. Demonstrasi ini membawa slogan-slogan yang menuduh pemerintah mengorbankan tahanan untuk kepentingan politik.
Sebagai latar belakang, keputusan untuk melanjutkan serangan udara di Gaza diumumkan setelah kesepakatan gencatan senjata yang diharapkan memberi harapan bagi pembebasan tahanan. Namun, banyak warga Israel merasa bahwa Netanyahu tidak peduli dengan keselamatan para tahanan tersebut. Seorang demonstran meneriakkan, “Masa depan koalisi atau masa depan Israel,” menekankan dilema yang dihadapi masyarakat dalam konteks politik saat ini.
Aksi protes yang berlangsung hari Rabu menunjukkan ketidakpuasan yang mendalam terhadap kebijakan Netanyahu, dengan banyak yang mengkritik keputusan untuk memilih konflik alih-alih melanjutkan negosiasi dengan Hamas. Perwakilan kelompok yang mewakili tahanan yang ditahan di Gaza mengeluarkan pernyataan menuntut agar gencatan senjata segera diterapkan, menuding Netanyahu menggunakan konflik demi mempertahankan cengkeramannya pada kekuasaan.
Menurut laporan dari harian Ibrani Yedioth Ahronoth, bentrokan terjadi antara demonstran dan polisi di al-Quds, dengan beberapa video memperlihatkan tindakan kekerasan terhadap pengunjuk rasa. Pengunjuk rasa dan keluarga tahanan mengungkapkan kekhawatiran yang mendalam bahwa kebijakan militer akan mengancam keselamatan orang-orang terkasih mereka yang terjebak di Gaza.
Kemarahan para demonstran semakin meningkat setelah serangan besar-besaran oleh militer Israel yang dilaporkan menewaskan lebih dari 400 warga Palestina, termasuk banyak anak-anak, menjadikannya sebagai salah satu serangan paling mematikan sejak dimulainya perang di Gaza pada Oktober 2023. Netanyahu mengklaim serangan ini sebagai “permulaan” serta menegaskan kembali niatnya untuk menghancurkan Hamas dan menyelamatkan para tahanan yang tersisa.
Ada keyakinan di kalangan banyak warga Israel bahwa serangan ini lebih berhubungan dengan upaya politik Netanyahu untuk memperkuat posisinya di tengah persidangan korupsinya yang sedang berlangsung. “Netanyahu ingin lolos dari keadilan. Inilah satu-satunya alasan kita menghadapi kudeta rezim dan perang berdarah ini. Ini adalah campuran yang berbahaya,” ungkap Elias Shraga, seorang aktivis saat berunjuk rasa di Tebing Barat.
Sebuah pernyataan dari keluarga tahanan juga menyoroti kekhawatiran mereka, mengatakan bahwa gencatan senjata yang diterapkan pada tanggal 19 Januari menawarkan peluang terbaik untuk memulangkan tahanan dengan aman. Namun, seiring dengan serangan yang kembali terjadi, mereka merasa bahwa ketakutan terbesar mereka telah menjadi kenyataan.
Dalam konteks ini, Gerakan perlawanan Palestina, Hamas, menyesalkan langkah Netanyahu yang dianggapnya sebagai tindakan berbahaya yang tidak hanya membahayakan nyawa para tahanan, tetapi juga memperburuk situasi kemanusiaan di Gaza. Mereka mengklaim bahwa serangan tersebut berdampak besar pada keamanan dan keselamatan para sandera yang saat ini dipegang oleh mereka.
Gelombang serangan baru ini juga merupakan eskalasi besar pertama sejak gencatan senjata dengan Hamas berlaku pada 19 Januari. Menurut data dari kementerian kesehatan Gaza, lebih dari 400 orang telah tewas dalam serangan tersebut. Dalam situasi yang semakin rumit ini, Israel menghadapi dilema moral dan politik yang dalam, di mana banyak warga mempertanyakan keputusan pemerintah dan dampaknya terhadap kehidupan manusia, terutama para tahanan yang harus dihadapi sebagai korban dari konflik secara langsung.