Dalam beberapa hari terakhir, media sosial Indonesia diramaikan dengan tren diskusi terkait unjuk rasa yang diberi nama "Indonesia Gelap". Sejak dimulai pada 17 Februari 2025, demonstrasi ini dipimpin oleh sekelompok mahasiswa yang menyoroti berbagai isu terkait kebijakan ekonomi pemerintah, terutama efisiensi anggaran yang dianggap tidak berpihak kepada masyarakat. Sejumlah data menunjukkan bahwa sentimen negatif mendominasi pembicaraan ini di platform media sosial, meningkatkan kepedulian publik terhadap kebijakan pemerintah.
Ribuan mahasiswa berencana mengikuti aksi long march dari Taman Ismail Marzuki menuju Patung Kuda di Jakarta Pusat, dengan sembilan tuntutan yang jelas. Beberapa di antaranya termasuk pengkajian kembali Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2025, transparansi pajak rakyat, dan penolakan terhadap revisi UU Minerba. Mereka menekankan perlunya evaluasi terhadap program Makan Bergizi Gratis serta penuntasan kasus pelanggaran HAM yang belum terselesaikan.
Di antara trennya, tagar #IndonesiaGelap menjadi salah satu yang paling populer dan digunakan mencapai 455 ribu kali di Twitter pada 21 Februari. Selain itu, ada juga tagar terkait lainnya seperti #PeringatanDarurat dan #EfisiensiUntukBangsa. Berdasarkan analisis dari Drone Emprit, isu utama yang dibahas berkaitan dengan pengelolaan anggaran yang transparan dan tepat sasaran, dengan fokus mendesak pada sektor pendidikan dan kesehatan yang menjadi sangat krusial bagi masyarakat.
Salah satu hal yang menarik untuk dicatat adalah bahwa meskipun ada upaya dari pemerintah untuk menjelaskan kebijakan efisiensi anggaran sebagai langkah positif, tanggapan publik justru lebih banyak berisi kritik. Riset menunjukkan bahwa banyak warganet menyampaikan kekhawatiran tentang dampak negatif dari pemangkasan anggaran, terutama pada layanan publik yang mereka anggap tidak dapat dikompromikan. Beberapa topik yang mendapatkan perhatian luas di media sosial termasuk:
- Pemangkasan Anggaran Pendidikan: Kebijakan pemotongan dana yang dialokasikan untuk pendidikan menjadi sorotan karena dianggap dapat mempengaruhi keberlangsungan layanan pendidikan yang berkualitas.
- Makan Bergizi Gratis: Program yang seharusnya menjamin kebutuhan gizi masyarakat ini dipertanyakan efektivitasnya, terutama ketika dihadapkan pada pemotongan di sektor vital lainnya.
- PHK Massal: Fungsi efisiensi anggaran telah menyebabkan Pemutusan Hubungan Kerja di berbagai lembaga, seperti TVRI dan RRI, yang membuat banyak pegawai khawatir akan masa depan pekerjaan mereka.
- Transparansi Anggaran: Kekhawatiran akan kurangnya pengawasan dan potensi penyalahgunaan dana hasil efisiensi anggaran menjadi titik kritis yang dibahas di berbagai platform.
- Protes Mahasiswa: Keterlibatan mahasiswa dalam aksi protes memberikan dorongan tambahan bagi masyarakat untuk bersuara menolak kebijakan yang dianggap merugikan.
Keberadaan tagar #EfisiensiUntukBangsa, yang diusung oleh pendukung kebijakan tersebut, menunjukkan bahwa ada juga suara yang positif menanggapi kebijakan ini, meskipun jumlahnya relatif lebih sedikit. Kendati demikian, publik tampak lebih antusias dalam mengungkapkan ketidakpuasan mereka, menciptakan ruang bagi diskusi yang lebih besar tentang bagaimana kebijakan pemerintah seharusnya disusun dan dilaksanakan.
Analisis lebih lanjut dari Drone Emprit menemukan bahwa frustasi ini tidak hanya terjadi dalam satu sektor, tetapi menyebar ke banyak aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Banyak netizen yang mencemaskan dampak pemangkasan anggaran terutama bagi mereka yang berpendapatan rendah, serta peningkatan biaya hidup yang seiring dengan itu.
Dengan begitu banyaknya suara dan respons publik di media sosial, tampak jelas bahwa isu efisiensi anggaran akan terus menjadi bahan pembicaraan yang hangat di tanah air. Hal ini menunjukan betapa pentingnya transparansi dalam pengambilan keputusan anggaran dan perlunya melibatkan masyarakat dalam proses tersebut agar kebijakan yang diterapkan benar-benar menjawab kebutuhan serta harapan rakyat.