
Jakarta – Social unrest atau kerusuhan sosial sering kali menjadi topik yang menarik perhatian masyarakat, namun pemahaman tentang fenomena ini masih tergolong minim. Secara sederhana, social unrest dapat didefinisikan sebagai keadaan ketidakteraturan dan kekacauan dalam suatu masyarakat. Faktor-faktor yang biasanya memicu terjadinya kerusuhan sosial ini meliputi ketidakpuasan terhadap kondisi sosial, ekonomi, atau politik. Data dari International Monetary Fund (IMF) menunjukkan bahwa social unrest dapat terjadi dalam bentuk protes, kerusuhan, atau aksi kolektif lainnya.
Di banyak negara, faktor ekonomi seperti ketimpangan sosial, kenaikan harga bahan pokok, atau kondisi ekonomi yang memburuk seringkali menjadi lumbung masalah yang memicu kerusuhan sosial. Setiap kali masyarakat merasa tertekan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, suara ketidakpuasan akan mengemuka. “Protes dan kerusuhan ini merupakan cerminan dari kondisi yang dialami masyarakat,” ujar seorang ekonom yang menganalisis fenomena ini.
Dampak dari social unrest tidak bisa dianggap sepele, terutama dari segi ekonomi. Riset dari IMF yang dilakukan oleh ekonom Metodij Hadzi-Vaskov menunjukkan bahwa perekonomian selalu menjadi sektor pertama yang merasakan dampak negatif dari fenomena ini. Salah satu indikator yang paling terlihat adalah penurunan valuasi pasar saham. Ditemukan bahwa setelah 156 peristiwa social unrest di 72 negara, rata-rata imbal hasil pasar saham turun sebesar 1,4 poin persentase. Ini menunjukkan bahwa investor menciptakan ekspetasi pessimism terhadap stabilitas ekonomi negara pasca insiden kerusuhan.
Dampak dari social unrest berbeda-beda tergantung pada karakteristik negara yang mengalaminya. Di negara dengan pemerintahan yang lebih terbuka dan demokratis, dampak dari social unrest lebih terbatas. Namun, jika konflik ini menyebabkan kekacauan yang lebih besar, imbasnya bisa jadi lebih signifikan. Sebaliknya, negara dengan pemerintahan otoriter lebih rentan terkena dampak berat; rata-rata imbal hasil pasar saham mereka bisa turun hingga 2% dalam tiga hari setelah kerusuhan, bahkan 4% dalam sebulan berikutnya.
Berdasarkan data, volume perdagangan saham biasanya meningkat tajam setelah terjadinya kerusuhan, yang menunjukkan reaksi pasar terhadap prospek ekonomi yang makin suram. Dalam kondisi yang lebih parah, social unrest dapat menghasilkan penurunan Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 1 poin persentase dalam enam kuartal setelah peristiwa kerusuhan.
Situasi terbaru di Port Moresby, Papua Nugini, pada 10 Januari 2024, memberikan gambaran jelas tentang bagaimana social unrest dapat terjadi akibat dari ketegangan sosial. Protes yang terjadi akibat ketidakpuasan terhadap pembayaran gaji dari petugas keamanan lokal, menyebabkan kerusuhan yang berujung pada penjarahan dan pembakaran fasilitas umum. Video-video yang beredar di media sosial menggambarkan luasnya kerusuhan ini dan ketidakmampuan aparat untuk mengendalikan situasi.
Dari perspektif yang lebih luas, social unrest bukan hanya berfungsi sebagai cerminan ketidakpuasan masyarakat, tetapi juga sebagai indikator yang menunjukkan adanya masalah serius dalam manajemen ekonomi dan sosial suatu negara. Gejolak ini dapat mengguncang kepercayaan investor dan mempengaruhi stabilitas ekonomi dalam jangka panjang. Dalam dunia yang semakin terhubung, implikasi dari social unrest di satu negara bisa membawa dampak yang lebih luas, termasuk pada hubungan ekonomi internasional.
Fenomena seperti social unrest harus menjadi perhatian serius baik bagi pemerintah maupun masyarakat. Mengelola ketidakpuasan sosial dengan kebijakan yang mendukung keadilan ekonomi dan sosial merupakan langkah penting untuk mencegah terulangnya kerusuhan yang dapat mengakibatkan kerugian besar bagi perekonomian.