
Panglima Militer Israel yang baru, Mayor Jenderal Eyal Zamir, secara resmi mulai menjabat pada Rabu lalu, menggantikan Letnan Jenderal Herzi Halevi. Pengangkatan Zamir ini merupakan langkah krusial bagi masa depan militer Israel, terutama setelah serangan mendalam yang dilancarkan oleh Hamas pada 7 Oktober 2023, yang berhasil mengungkapkan berbagai kelemahan dalam strategi pertahanan Israel. Dalam konteks ini, analisis terhadap kepemimpinan Zamir menjadi sangat penting.
Zamir, yang sebelumnya menjabat sebagai direktur jenderal Kementerian Pertahanan, pernah dipertimbangkan untuk posisi panglima militer ini hingga dua kali namun gagal meraih jabatan tersebut sebelumnya. Sebagai seorang perwira yang telah berpengalaman panjang, Zamir dikenal sebagai sosok yang keras dalam menghadapi tantangan, termasuk dalam responnya terhadap protes masyarakat Palestina, di mana selama masa jabatannya sebagai pemimpin komando selatan, pasukan di bawahnya bertanggung jawab atas tewasnya ratusan pengunjuk rasa.
Dalam pidato pertamanya setelah pengangkatannya, Zamir menegaskan komitmen untuk memperkuat posisi Israel maka ia menyebut tahun 2025 sebagai “tahun pertempuran”. Pernyataan ini mengindikasikan adanya rencana ambisius untuk melakukan operasi militer yang lebih agresif, meskipun Israel telah melakukan beberapa gencatan senjata dalam konflik terakhirnya. Ia juga menekankan pentingnya kemandirian Israel dalam memproduksi senjata, yang menggambarkan keyakinan bahwa Israel harus mampu bertahan tanpa bergantung pada dukungan luar, termasuk bantuan militer signifikan dari Amerika Serikat.
Zamir bukan hanya seorang militer, tetapi juga dicirikan oleh pandangan yang proaktif terhadap keamanan nasional. Salah satu pernyataannya yang mencolok adalah tentang kebutuhan untuk menghadapi ancaman dari negara-negara seperti Iran, serta penentang lainnya. Dalam pandangannya, kebijakan keamanan harus lebih mengedepankan kekuatan dan tindakan yang tegas terhadap mereka yang dianggap sebagai ancaman bagi negara.
Dalam proses pengangkatannya, Zamir mendapat dukungan kuat dari sayap kanan pemerintahan Netanyahu. Dukungan ini dipastikan mengingat banyaknya anggota kabinet yang berhaluan keras, seperti Menteri Keuangan Bezalel Smotrich. Smotrich mengindikasikan bahwa di bawah kepemimpinan Zamir, Israel bisa jadi bersiap untuk menduduki Gaza dengan dukungan strategis dari AS, sebuah langkah yang bisa memperburuk ketegangan di wilayah tersebut.
Analisis terhadap kepemimpinan Zamir juga seharusnya mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap stabilitas regional. Pengangkatan seorang panglima yang dikenal suka berperang bisa menambah ketegangan di kawasan yang sudah rentan. Hal ini mengarah pada pertanyaan mengenai apakah kebijakan agresif akan menjadi norma baru bagi Israel, terutama mengingat banyaknya pengunduran diri di kalangan pimpinan senior militer pasca kegagalan serangan 7 Oktober.
Dengan proporsi anggota senior militer yang telah keluar, ada kekosongan dalam kepemimpinan yang bisa saja dimanfaatkan oleh Zamir untuk membentuk kembali struktur komando pasukan keamanan, sesuai dengan keinginannya dan arahan pemerintah. Pola ini sering terlihat sebelumnya, di mana posisi panglima militer seringkali menjadi batu loncatan menuju karier politik yang tinggi, mirip dengan beberapa mantan perdana menteri Israel yang memiliki latar belakang militer.
Situasi ini menimbulkan spekulasi mengenai dampak Zamir dalam menentukan arah Israel ke depan, termasuk bagaimana strategi militer bisa mempengaruhi dinamika politik domestik. Cerita ini belum berakhir, dan perjalanan Masa depan Israel di bawah komando Eyal Zamir berpotensi menjadi babak baru dalam konflik yang telah berlarut-larut, yang menjanjikan banyak hal untuk diperhatikan dalam waktu-waktu mendatang. Mampukah Israel, di bawah kepemimpinan seorang panglima yang agresif, menemukan jalan menuju stabilitas atau semakin tenggelam dalam konflik yang berkepanjangan?