Amerika Serikat (AS) di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump mengambil langkah kontroversial dengan mengumumkan penarikan diri dari Perjanjian Paris, sebuah kesepakatan global yang bertujuan untuk mengatasi krisis iklim. Langkah ini tidak hanya berpotensi menghambat usaha internasional dalam penanggulangan perubahan iklim, tetapi juga dapat berdampak signifikan terutama pada negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Juru Kampanye Energi Fosil Trend Asia, Novita Indri, menyatakan bahwa mundurnya AS dari perjanjian tersebut berisiko menghambat transisi energi global. Salah satu dampak langsung dari keputusan ini adalah potensi pengurangan komitmen AS dalam membantu negara-negara berkembang dengan pendanaan untuk transisi energi. Sebuah contoh konkret dari komitmen tersebut adalah Just Energy Transition Partnership (JETP), yang diharapkan dapat memberikan dukungan finansial bagi Indonesia dan negara lain yang lebih rentan terhadap perubahan iklim.
Namun, di balik keputusan AS tersebut, muncul pandangan bahwa hilangnya kepemimpinan negara tersebut dapat membuka peluang bagi penguatan kerja sama yang lebih kolaboratif antara negara-negara lain dalam upaya mencapai tujuan Perjanjian Paris. Novita menegaskan bahwa perjanjian ini harus dilihat sebagai sebuah komitmen yang lebih besar dan bukan sekadar serangkaian janji yang tertulis.
Meskipun AS telah menarik diri, Indonesia tidak seharusnya mengendurkan upaya dalam transisi energi. Novita mengingatkan bahwa Indonesia tetap rentan terhadap berbagai dampak perubahan iklim, yang bisa terlihat dari data yang disampaikan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Dalam laporan terkini, dari 1 Januari hingga 31 Januari 2025, Indonesia mengalami 165 kejadian banjir, 13 kejadian cuaca ekstrem, dan 18 kejadian longsor. Semua bencana ini memperlihatkan seberapa mendesaknya penanganan krisis iklim di Indonesia.
Untuk tetap berada di jalur yang tepat, berikut adalah hal-hal yang perlu dilakukan Indonesia:
Meningkatkan Usaha Mitigasi: Target penurunan emisi harus tetap menjadi prioritas. Di tengah tantangan ini, penguatan upaya mitigasi dan adaptasi menjadi semakin penting untuk menghadapi ancaman bencana yang ada.
Sumber Pendanaan Dalam Negeri: Indonesia perlu mencari potensi pendanaan dari domestic sources. Misalnya, pemanfaatan hasil peningkatan pungutan produksi batubara yang diprediski dapat mencapai lebih dari USD23 miliar per tahun.
Reevaluasi Kerja Sama internasional: Dengan hilangnya beberapa dukungan dari AS, Indonesia harus lebih aktif dalam menjalin kerja sama yang adil dengan negara-negara lain untuk menjamin pencapaian target Perjanjian Paris.
Fokus pada Pembangunan Berkelanjutan: Komitmen untuk memperkuat kapasitas energi terbarukan seharusnya tetap menjadi prioritas. Mengembangkan energi ramah lingkungan seperti tenaga surya dan angin dapat menjadi solusi alternatif yang mendukung keberlanjutan.
- Berperan Aktif Dalam Forum Internasional: Indonesia seharusnya meningkatkan kehadiran dan perannya dalam forum-forum internasional untuk membangun jaringan dan mendapatkan dukungan dalam upaya transisi energi global.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), yang diwakili oleh Menteri Bahlil Lahadalia, diharapkan dapat mengambil langkah strategis untuk memperkuat komitmen ini, bukannya mengulur waktu dan terjebak dalam ketidakpastian. Hal ini penting agar Indonesia tidak mengikuti jejak mundurnya AS dari komitmen global.
Krisis iklim bukan hanya sekedar masalah lingkungan, tetapi juga dapat mengancam ketahanan pangan, kesehatan, dan kesejahteraan rakyat. Jadi, respons yang cepat dan efektif sangat diperlukan untuk menangani dampak dari perjanjian yang sedang berubah ini. Indonesia sebagai negara kepulauan tropis yang terancam oleh krisis iklim harus berupaya untuk memperkuat ketahanan nasional dan melindungi rakyat dari dampak negatif yang semakin nyata.