Warga Gaza yang terjebak dalam konflik berkepanjangan kini menghadapi proposal yang kontroversial untuk relokasi ke negara tetangga, Mesir dan Yordania. Usulan ini muncul dari Presiden Amerika Serikat Donald Trump, yang baru dilantik, dan telah memicu kritik tajam serta penentangan dari banyak pihak.
Menurut laporan dari media Israel, utusan khusus AS, Steve Witkoff, bertemu dengan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, di Yerusalem untuk membahas gagasan tersebut. Witkoff berusaha mendorong Netanyahu untuk menghilangkan hambatan politik yang mungkin menghalangi kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan Hamas, yang telah disetujui pada awal bulan Februari. Dalam pembicaraan tersebut, muncul saran untuk memindahkan penduduk Gaza ke Mesir dan Yordania.
Kritik terhadap rencana ini datang dari banyak penjuru, terutama dari pejabat resmi dua negara yang diusulkan. Pertama, Presiden Mesir, Abdel Fattah el-Sisi, dengan tegas menolak gagasan tersebut. Dalam sebuah konferensi pers, el-Sisi menegaskan, “Pemindahan warga Palestina tidak akan pernah bisa ditoleransi atau diizinkan karena dampaknya terhadap keamanan nasional Mesir.” Dia menyatakan bahwa deportasi atau pemindahan rakyat Palestina adalah bentuk ketidakadilan yang tidak dapat mereka terima.
Kritik juga datang dari Yordania. Raja Abdullah II mengungkapkan keprihatinannya dalam pertemuan di Brussels dengan beberapa pemimpin Eropa. Raja Abdullah II menekankan pentingnya Palestina untuk tetap berada di tanah mereka sendiri. Sementara itu, Mahmoud Abbas, pemimpin Otoritas Palestina, juga mengecam keras setiap proyek yang bertujuan untuk menggusur orang Gaza dari tanah air mereka.
Para pemimpin Hamas, yang saat ini menguasai Gaza, menyatakan keinginan mereka untuk menggagalkan upaya pemindahan ini. Mereka menekankan bahwa Palestina tidak akan membiarkan rencana semacam itu terwujud, merujuk pada upaya serupa yang telah dilakukan selama beberapa dekade terakhir untuk mencari “tanah air alternatif.”
Respon negatif juga terlihat dari PBB. Juru bicara PBB, Stephane Dujarri, menyatakan penolakan terhadap rencana Trump dalam sebuah konferensi pers, mengatakan, “Kami akan menentang rencana apa pun yang akan mengarah pada pemindahan paksa orang, atau akan mengarah pada semua jenis pembersihan etnis.” Penolakan ini menunjukkan dukungan PBB terhadap solusi dua negara yang diusulkan dalam Perjanjian Oslo pada tahun 1990-an.
Dalam konteks yang lebih luas, usulan relokasi warga Gaza ini memperlihatkan kompleksitas situasi geopolitik di Timur Tengah. Banyak pihak yang menganggap bahwa rencana relokasi tidak hanya mengancam hak-hak warga Palestina, tetapi juga bisa berujung pada ketegangan dan konflik baru di kawasan tersebut.
Pandangan yang berlawanan mengenai relokasi warga Gaza ini juga menunjukkan betapa sulitnya mencapai solusi yang adil dan berkelanjutan bagi rakyat Palestina. Dengan adanya reaksi keras dari Mesir dan Yordania, serta penolakan dari pemimpin Palestina dan PBB, tampaknya rencana ini akan mengalami jalan terjal sebelum dapat direalisasikan.
Proposal ini membawa dampak signifikan tidak hanya bagi penduduk Gaza, tetapi juga untuk stabilitas regional. Dengan berbagai pihak yang menentang, termasuk negara-negara yang diusulkan sebagai tujuan relokasi, terlihat jelas bahwa respontensi terhadap isu Palestina akan terus menjadi sorotan dalam diskusi internasional ke depan.