
SYDNEY – Ketegangan diplomatik antara Australia dan Indonesia meningkat setelah laporan bahwa Rusia telah resmi meminta izin untuk menempatkan pesawatnya di pangkalan udara di Papua. Permintaan ini dilaporkan oleh sebuah situs web militer Amerika Serikat dan memicu protes dari pejabat Australia yang khawatir akan keamanan regional.
Menteri Pertahanan Indonesia, Sjafrie Sjamsoeddin, langsung menanggapi laporan tersebut dengan menegaskan bahwa tidak akan ada pesawat Rusia yang ditempatkan di pangkalan Angkatan Udara Manuhua di Biak Numfor. “Saya telah berbicara dengan mitra saya di Indonesia dan dapat memastikan bahwa laporan tentang prospek pesawat Rusia yang beroperasi dari Indonesia sama sekali tidak benar,” ungkap Richard Marles, Menteri Pertahanan Australia, dalam sebuah pernyataan.
Laporan mengenai permintaan Moskow untuk mengakses pangkalan di Papua ini menyebar setelah media militer melaporkan bahwa Kremlin berusaha memperoleh akses ke fasilitas tersebut. Pejabat Rusia, ketika dimintai komentar, menyebut bahwa berita tentang permintaan tersebut merupakan “berita palsu”.
Kekhawatiran Australia berakar dari potensi perpindahan kekuatan militer Rusia yang dekat dengan kawasan mereka. “Prospek pesawat militer Rusia yang ditempatkan begitu dekat dengan daratan utama Australia membunyikan lonceng peringatan di Canberra,” jelas Malcolm Davis dari Australian Strategic Policy Institute. Jika Indonesia memberikan izin, bisa jadi akan terjadi peningkatan kehadiran militer AS dan Australia di kawasan, yang tentunya berdampak pada dinamika pertahanan regional.
Australia selama ini aktif memperluas hubungan pertahanan dan keamanannya dengan Indonesia. Namun, hubungan Jakarta dan Moskow juga semakin erat, ditandai dengan kunjungan pejabat militer senior Rusia ke Indonesia dan latihan angkatan laut yang dilakukan di Laut Jawa. Hal ini menunjukkan bahwa Rusia berusaha memperkuat kerjasama militer dengan negara-negara di luar negeri, meskipun fokus utama Presiden Vladimir Putin tetap pada konflik di Ukraina.
Pemerintah Australia, melalui Menteri Luar Negeri Penny Wong, berusaha untuk mendapatkan informasi lebih lanjut dari Jakarta mengenai laporan tersebut. Wong menyatakan perlunya komunikasi terbuka dalam konteks keamanan regional ini. “Kami ingin memastikan bahwa semua pihak menyadari kekhawatiran kami terhadap perkembangan ini,” kata Wong.
Toni Dutton, pemimpin oposisi Australia, menegaskan pentingnya pemerintah memberikan informasi yang jelas dan transparan terkait laporan ini, karena dampaknya dapat sangat signifikan. “Jika ini terjadi, itu akan menjadi kegagalan diplomatik yang besar bagi pemerintah,” ujarnya. Dutton juga menekankan bahwa jarak Papua yang dekat dengan Australia menjadikan isu ini sangat sensitif.
Berkaitan dengan hal ini, pengamat militer menyoroti bahwa meskipun Indonesia memiliki hak untuk menolak permintaan Rusia, situasi geopolitik dapat berfluktuasi. Davis menyebutkan, “Ini belum menjadi kesepakatan yang tuntas, dan mungkin saja gagal.” Namun, jika Rusia berhasil mendapatkan akses, hal itu dapat mengubah keseimbangan kekuatan di kawasan tersebut.
Hubungan Indonesia dengan Rusia dan dengan Australia menunjukkan kompleksitas dinamika percaturan geopolitik di kawasan Asia-Pasifik. Kedua negara pun harus menavigasi hubungan ini dengan hati-hati agar tetap menjaga stabilitas dan keamanan regional.
Sebagai langkah proaktif, Australia, Jepang, dan AS akan terus mendesak Indonesia untuk menolak permintaan Rusia, mengingat pentingnya mencegah meningkatnya kehadiran militer Moskow di dekat perbatasan mereka. Dengan latar belakang tersebut, keadaan politik di kawasan ini semakin menarik untuk dicermati, terutama terkait strategi pertahanan yang mungkin diambil oleh masing-masing negara.