Bisnis

Bahlil: Pendanaan Pensiun Dini PLTU dari Lembaga Donor Masih Nol!

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menegaskan bahwa Indonesia masih menunggu dukungan pendanaan dari lembaga donor internasional sebelum melaksanakan rencana pensiun dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Dalam sambutannya yang disampaikan di Jakarta pada Kamis, 30 Januari 2025, Bahlil menekankan bahwa meskipun negara memiliki komitmen melalui perjanjian Just Energy Transition Partnership (JETP), hingga saat ini belum ada realisasi pendanaan yang diterima, yang menurutnya masih berada pada angka nol.

"Di janjimu (JETP) ada lembaga donor yang membiayai, mana ada? Sampai sekarang belum ada, nol. Kami mau (pensiun dini PLTU), tapi ada uangnya dulu," ujar Bahlil dengan tegas. Pernyataan ini mencerminkan ketidakpastian yang dihadapi pemerintah dalam merealisasikan program yang mendukung transisi energi Indonesia menuju sumber energi yang lebih ramah lingkungan.

Bahlil juga menekankan pentingnya pendanaan yang solid dalam pelaksanaan pensiun dini PLTU. Menurutnya, tanpa dukungan keuangan yang memadai, pemerintah tidak akan mengambil langkah untuk mengeksekusi rencana tersebut. "Masa kita harus memaksa dana APBN atau PLN membuat bon baru lagi untuk membiayai itu? Kalaupun tidak ada duitnya, sorry bos, kami harus memproteksi kebutuhan dalam negeri dulu," tambahnya.

Rencana pensiun dini PLTU ini sebenarnya merupakan bagian dari strategi untuk memenuhi kebutuhan energi baru terbarukan di dalam negeri dan tidak membebani anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) maupun Perusahaan Listrik Negara (PLN). Saat ini, belum ada kepastian mengenai kapan pendanaan dari lembaga donor akan tersedia.

Sejalan dengan pernyataan Bahlil, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Eniya Listiani Dewi, menyampaikan bahwa rencana untuk pensiun dini PLTU masih perlu dikaji lebih dalam. Ada proses pendampingan yang sedang berlangsung oleh Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun), untuk membangun peta jalan pensiun dini PLTU tersebut.

"Pendanaannya ini kan harus kita pastikan full package, bisa sampai sekitar US$4,8 miliar, dan harus tertulis di depan," jelas Eniya. Angka ini menunjukkan bahwa proyek pensiun dini PLTU tidak hanya memerlukan dukungan moral tetapi juga finansial yang jelas dan terukur agar bisa dilaksanakan dengan baik.

Berikut adalah beberapa poin penting terkait rencana pensiun dini PLTU Indonesia:

  1. Pendanaan Masih Nol: Hingga saat ini, belum ada dukungan pendanaan dari lembaga donor yang dijanjikan dalam perjanjian JETP.

  2. Kebutuhan Energi Baru: Pemerintah menekankan komitmennya untuk meningkatkan penggunaan sumber energi baru dan terbarukan, tanpa membebani APBN ataupun PLN.

  3. Angka Pendanaan yang Signifikan: Pensiun dini PLTU dapat memerlukan pendanaan hingga sekitar US$4,8 miliar.

  4. Proses Kajian Berkelanjutan: Rencana pensiun dini PLTU masih dalam tahap kajian, dan melibatkan banyak pihak termasuk Jaksa Agung Muda Perdata.

Melihat situasi saat ini, pemerintah memposisikan diri secara hati-hati dalam pelaksanaan kebijakan ini. Keberhasilan pensiun dini PLTU bukan hanya akan menjadi langkah di bidang energi, tetapi juga merupakan langkah penting dalam upaya Indonesia mencapai target penurunan emisi karbon dan mengimplementasikan komitmen terkait perubahan iklim.

Dengan ketidakpastian mengenai pendanaan dari lembaga donor, tantangan bagi pemerintah Indonesia untuk segera mengeksekusi rencana ini tetap besar. Mengingat pentingnya transisi energi yang berkelanjutan, sinergi antara berbagai pemangku kepentingan menjadi hal yang krusial untuk mendukung kelancaran program-program tersebut di masa mendatang.

Rina Lestari adalah seorang penulis di situs Media Massa Podme. Podme.id adalah portal berita informasi dan aplikasi podcast gaya hidup dan hiburan terdepan di Indonesia.

Berita Terkait

Back to top button