
Kebutuhan beras di Bali diproyeksikan mencapai 412.929 ton pada tahun 2024. Namun, produksi beras di Pulau Dewata hanya akan mencapai 365.424 ton, sehingga menciptakan defisit beras sebesar 47.505 ton. Situasi ini disampaikan oleh Prof Dewa Ngurah Suprapta, Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Udayana, saat memberikan kuliah umum di hadapan mahasiswa Tokyo University, Jepang, Selasa (11/3).
Kondisi defisit beras ini menjadi peringatan serius bagi sektor pertanian di Bali. Berbagai faktor telah menyebabkan penurunan produktivitas yang cukup signifikan. Misalnya, lahan pertanian yang semakin sempit akibat alih fungsi lahan, populasi petani yang berkurang serta semakin tua, dan rendahnya tingkat pendidikan di kalangan petani itu sendiri. Faktor-faktor inilah yang berkontribusi terhadap kesulitan yang dialami oleh sektor pertanian di Bali.
Prof Dewa menjelaskan bahwa untuk meningkatkan produktivitas pertanian, penerapan teknologi seperti smart farming menjadi salah satu alternatif solusi. Namun, ada tantangan besar yang harus dihadapi. "Petani yang berusia lebih lanjut sering kali sulit untuk beradaptasi dengan teknologi baru karena keterbatasan pendidikan. Selain itu, kepemilikan lahan yang kecil dan kondisi topografi lahan yang miring juga menjadi hambatan untuk menerapkan modernisasi pertanian dengan efektif," ujarnya.
Untuk lebih menjelaskan mengenai situasi saat ini, berikut adalah beberapa poin penting mengenai masalah defisit beras di Bali:
- Kebutuhan dan Produksi: Kebutuhan beras 2024 diperkirakan mencapai 412.929 ton, sementara produksi lokal hanya 365.424 ton.
- Defisit yang Signifikan: Hal ini menjadikan Bali mengalami defisit beras sebesar 47.505 ton.
- Faktor-Faktor Penyebab:
- Alih fungsi lahan pertanian.
- Penurunan jumlah petani dan meningkatnya usia petani.
- Rendahnya tingkat pendidikan di kalangan petani.
- Lahan Pertanian: Luas lahan pertanian di Bali saat ini mencapai 359.694 hektar, tetapi luas sawah yang dapat diakses hanya 19,97% dari total lahan pertanian.
- Keterbatasan Teknologi: Rendahnya akseptansi petani terhadap teknologi baru menjadi isu krusial.
Prof Dewa juga menyoroti pentingnya mengedukasi petani dengan teknologi pertanian modern yang dapat meningkatkan produktivitas. Misalnya, penggunaan drone untuk penyemprotan pestisida di lahan luas. "Jika petani melihat langsung manfaat dari penggunaan teknologi modern, mereka mungkin akan lebih terbuka untuk beradaptasi," kata Prof Dewa.
Di sisi lain, pendapatan petani juga menjadi perhatian. Banyak petani yang terpaksa mencari pekerjaan tambahan untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka. "Banyak petani yang juga bekerja di sektor-sektor lain, seperti konstruksi atau kerajinan, yang menunjukkan bahwa sektor pertanian tidak selalu memberikan kehidupan yang layak," tambahnya.
Dalam kolaborasi yang baik, pihak-pihak yang terlibat dalam sektor pertanian, termasuk pemerintah, lembaga pendidikan, dan petani, perlu bersama-sama mencari solusi yang efektif untuk meningkatkan produksi beras di Bali. "Kerja sama ini akan sangat penting untuk menanggulangi defisit beras yang kian meningkat," pungkas Prof Dewa.
Melihat dari sisi data, lahan pertanian Bali diharapkan dapat lebih produktif dengan implementasi teknologi yang tepat dan edukasi yang memadai bagi petani. Ke depan, stakeholder harus fokus tidak hanya pada peningkatan jumlah produksi beras, tetapi juga pada peningkatan kesejahteraan petani agar dapat menciptakan ekosistem pertanian yang berkelanjutan dan sejahtera di Bali.