![Bangkitnya Cokelat: Salju Alaska Lenyap Dalam Hitungan Tahun](https://podme.id/wp-content/uploads/2025/02/Bangkitnya-Cokelat-Salju-Alaska-Lenyap-Dalam-Hitungan-Tahun.jpg)
Alaska, yang dikenal dengan keindahan alamnya yang tertutup salju, kini menghadapi perubahan dramatis akibat pemanasan global. Gambar-gambar satelit terbaru dari NASA menunjukkan betapa signifikan hilangnya salju di wilayah ini, dengan area yang biasanya dilapisi salju kini berubah menjadi hamparan tanah kosong. Data yang diperoleh dari instrumen Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) pada satelit Terra dan Aqua memperlihatkan bahwa kondisi ini paling jelas terjadi di Bristol Bay Borough, selatan Alaska.
Kondisi ini mencerminkan perubahan yang mencolok dalam pola cuaca di seluruh Alaska. Biasanya pada bulan Januari, Anchorage, salah satu kota terbesar di negara bagian ini, mencatat kedalaman salju rata-rata sekitar 13 inci (33 cm). Namun, tahun ini, hampir tidak ada salju yang terdeteksi di stasiun cuaca baik di Anchorage maupun di wilayah lain. Pemandangan yang terlihat dari luar angkasa menampakkan tanah kosong, mengindikasikan hilangnya salju secara signifikan.
Menurut laporan dari NASA Earth Observatory, suhu di Alaska pada Desember 2024 tercatat 5 hingga 10 derajat Fahrenheit (3 hingga 6 derajat Celsius) di atas normal, berdasarkan data dari NOAA. Fenomena ini menandai bahwa banyak daerah di Alaska mengalami suhu lebih hangat yang belum pernah terjadi sebelumnya, menyebabkan salju dan es mencair dengan sangat cepat. Dalam banyak kasus, curah hujan yang turun lebih sering dalam bentuk air dibandingkan salju, yang memperparah situasi saat ini.
Perubahan iklim ini sangat nyata di kawasan Arktik, di mana pemanasan terjadi hingga empat kali lebih cepat dibandingkan rata-rata global. Di Anchorage, suhu rata-rata pada Januari lalu mencapai 29,3°F (-1,5°C), yang berarti 13°F (7,2°C) lebih tinggi dari rata-rata. Kenaikan suhu ini juga melampaui angka yang tercatat di lebih dari tiga lusin negara bagian lain di Amerika Serikat.
Ada dua faktor utama yang berkontribusi terhadap kondisi ini. Pertama, anomali cuaca di Samudra Pasifik Utara, di mana gelombang panas laut yang terjadi pada musim dingin diperparah oleh punggungan tekanan tinggi yang bertahan di atas Alaska. Kedua, perubahan iklim yang menyebabkan es laut yang berfungsi sebagai perisai reflektif semakin menipis. Fenomena efek albedo yang biasanya memantulkan sinar matahari kini bekerja berlawanan, sehingga lautan yang lebih gelap akibat mencairnya es justru menyerap lebih banyak panas.
Dampak jangka panjang dari perubahan ini sangat signifikan. Wilayah Arktik, yang sebelumnya berfungsi sebagai “kulkas dunia”, kini bertransformasi menjadi “pemanas dunia”. Proyeksi model iklim menunjukkan bahwa pada pertengahan abad ini, pengurangan drastis lapisan salju di Alaska akan mengancam keberlangsungan gletser, memicu badai yang lebih kuat, dan meningkatkan curah hujan. Pada akhir Januari, meskipun tekanan tinggi menyebabkan suhu turun di bawah nol di beberapa wilayah Alaska, prakiraan cuaca menunjukkan suhu hangat yang lebih tinggi akan kembali.
Kondisi ini menjadi perhatian global, mengingat Alaska merupakan salah satu indikator paling sensitif untuk perubahan iklim. Proses pengurangan salju yang cepat ini tidak hanya memengaruhi ekosistem lokal tetapi juga memiliki implikasi yang lebih luas bagi iklim global dan keberlangsungan hidup berbagai spesies yang bergantung pada salju dan es.
Alaska berdiri di garis depan perubahan iklim, dan penelitian serta pemantauan di wilayah ini sangat penting untuk memahami lebih jauh dampaknya pada lingkungan dan masyarakat. Peningkatan kesadaran tentang masalah ini diharapkan dapat mendorong upaya yang lebih besar dalam mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim yang sedang berlangsung.