
Jabodetabek, kawasan yang dikenal padat penduduk dan urban, kembali dilanda banjir parah pada awal Maret 2025. Rentetan kejadian ini dimulai pada Minggu (2/3/2025) ketika kawasan Puncak, Cisarua, Kabupaten Bogor, terendam, kemudian meluas hingga ke Jakarta dan merendam area sepanjang aliran Kali Ciliwung. Dalam hitungan hari, banjir pun menyapu permukiman di Kota dan Kabupaten Bekasi, serta mengganggu aktivitas masyarakat, termasuk merendam jalan protokol, pusat perbelanjaan, hingga rumah sakit.
Banjir kali ini dikategorikan lebih parah dibandingkan dengan kejadian serupa yang terjadi pada tahun 2020. Menurut data terbaru, tingkat keparahan banjir diukur dari ketinggian dan sebaran air yang menyerang area permukiman, yang juga berdampak pada kerugian material yang signifikan. Dalam konteks ini, Wakil Menteri Pekerjaan Umum, Diana Kusumastuti, menjelaskan bahwa penyebab utama banjir bukanlah dari faktor teknologi, seperti tanggul jebol atau kesalahan manusia, melainkan dari curah hujan yang ekstrem yang meningkatkan debit air di sungai-sungai, termasuk Kali Ciliwung.
Banjir Jabodetabek bukanlah masalah baru. Berikut adalah beberapa faktor yang berkontribusi terhadap meningkatnya intensitas kejadian banjir:
Curah Hujan Tinggi: Hujan lebat yang terjadi dalam waktu singkat menjadi pemicu utama. Menurut pemantauan cuaca, Jabodetabek diprediksi masih akan mengalami hujan dengan intensitas tinggi dalam beberapa hari ke depan.
Normalisasi Sungai yang Terhambat: Para ahli menggarisbawahi pentingnya normalisasi Kali Ciliwung. Wakil Gubernur DKI Jakarta sebelumnya juga menekankan bahwa pekerjaan ini harus segera diselesaikan untuk mengantisipasi dampak banjir yang lebih serius.
Perubahan Lingkungan: Urbanisasi yang cepat dan pemanfaatan lahan yang tidak berkelanjutan menyebabkan berkurangnya daya serap tanah. Hal ini turut memperparah kondisi saat hujan deras mengguyur.
- Kurangnya Kesadaran Masyarakat: Masyarakat sering kali kurang teredukasi tentang pentingnya menjaga lingkungan, termasuk kebersihan sungai, yang dapat mempengaruhi aliran air dan berkontribusi terhadap banjir.
Sehubungan dengan situasi kritis ini, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) berinisiatif untuk melakukan Operasi Modifikasi Cuaca (OMC) di wilayah Jabodetabek mulai Selasa (4/3/2025) sebagai upaya mitigasi. Langkah ini diharapkan dapat membantu menanggulangi potensi banjir yang lebih dahsyat di masa mendatang.
Namun, meski berbagai upaya telah dilakukan, pertanyaan besar tetap mengemuka: Mengapa bencana serupa terus berulang, bahkan semakin parah? Seharusnya, dengan pengalaman dari kejadian-kejadian sebelumnya, otoritas terkait mampu merencanakan dan mengantisipasi bencana banjir. Melalui pendekatan yang lebih proaktif, antisipasi terhadap cuaca ekstrem—yang merupakan fenomena alam yang dapat diprediksi—seharusnya dapat dilakukan dengan lebih baik.
Media juga ikut berperan dalam memberikan informasi terkini kepada masyarakat. Dalam program "Morning News" yang disiarkan oleh Radio MNC Trijaya dan portal berita Podme, pembahasan tentang banjir Jabodetabek yang makin parah menjadi fokus utama. Warga diimbau untuk mengikuti perkembangan situasi dan berpartisipasi dalam diskusi mengenai langkah-langkah yang bisa diambil untuk mengurangi dampak dari bencana ini.
Adaptasi dan mitigasi terhadap bencana banjir di Jabodetabek memang tidak bisa dianggap remeh. Kesadaran, inovasi, serta kolaborasi semua pihak—baik pemerintah, masyarakat, maupun media—sangat diperlukan untuk menanggulangi permasalahan yang berulang ini. Dengan pendekatan holistik yang tepat, diharapkan Jabodetabek dapat lebih siap menghadapi tantangan cuaca yang ekstrem di masa depan.