Bedah Film Road to Resilience: Sisi Lain Repatriasi WNI Eks ISIS

Fenomena Foreign Terrorist Fighter (FTF) menjadi alarm bagi banyak negara, termasuk Indonesia. Dalam konteks ini, film dokumenter berjudul ‘Road to Resilience’ yang disutradarai oleh Noor Huda Ismail, menghadirkan perspektif baru mengenai upaya repatriasi Warga Negara Indonesia (WNI) yang pernah terjerat dalam jaringan ISIS. Film ini menyoroti bahwa tidak semua WNI yang pergi ke Suriah didorong oleh ideologi ekstrem. Melainkan, ada banyak cerita di balik keputusan mereka, termasuk alasan keluarga.

Film ini menceritakan pengalaman seorang remaja bernama Febri, yang memutuskan untuk menemui ibunya yang berada di Suriah. Kondisi yang dialaminya di Indonesia, di mana ia merasa terasing dan tidak ada dukungan keluarga, mendorongnya untuk pergi ke Suriah. “Karena saya merasa durhaka sama ibu, akhirnya mau nyusulin ke Suriah,” ungkap Febri dalam film tersebut. Melalui narasi ini, Noor Huda Ismail ingin menekankan bahwa banyak dari mereka yang terjerat dalam perang ini bukan semata-mata karena ideologi, tetapi juga karena keterikatan emosional terhadap keluarga.

Berdasarkan data yang didapat dari pelbagai sumber, saat ini terdapat sekitar 400 WNI yang masih berada di Suriah. Kasubdit Kerjasama Regional BNPT RI, Yaenurendra Hasmoro Aryo Putro, menjelaskan bahwa pemerintah terus melakukan pemantauan terhadap WNI yang telah dipulangkan. Pemantauan ini sangat krusial, mengingat kekhawatiran terhadap potensi pengulangan ideologi ekstrem di dalam masyarakat.

Dalam proses repatriasi, Febri dan keluarganya harus menghadapi stigma sosial yang negatif. Setelah kembali ke Indonesia, mereka dianggap sebagai pengkhianat oleh banyak kalangan. Selama satu bulan, mereka menjalani pelatihan dan interogasi oleh pihak berwenang, BNPT dan Densus 88, sebelum mereka bisa memulai kembali kehidupan mereka. Sayangnya, perjalanan mereka tidak berhenti pada titik itu. Mereka harus berjuang menghadapi penolakan dari lingkungan sekitar, yang semakin memperberat beban psikologis mereka.

Pakar komunikasi dari Universitas Padjadjaran, Ari Agung Prastowo, mengungkapkan pentingnya komunikasi yang baik dalam menyampaikan pesan mengenai isu sensitif ini. Menurutnya, ‘Road to Resilience’ berhasil menyampaikan pesan tersebut dengan baik. “Film ini tepat, pesannya tersampaikan. Resiliensi komunikasi, menghadapi tekanan komunikasi yang ada,” ujarnya.

Proses repatriasi sendiri bukanlah hal yang mudah. Noor Huda menyatakan bahwa banyak faktor kompleks yang menyertai setiap keputusan WNI untuk bergabung dengan ISIS. Upaya repatriasi bukan sekadar mengembalikan mereka ke tanah air, tetapi juga memberikan mereka kesempatan kedua untuk memulai hidup baru. Ini selaras dengan tujuan film yang ingin menggugah kesadaran kolektif masyarakat tentang perlunya pemahaman yang lebih dalam mengenai latar belakang dan kondisi para mantan anggota ISIS.

Menurut data yang ada, saat ini pemerintah terus berupaya untuk memulangkan WNI yang tersisa di Suriah. Yaenurendra menjelaskan, “Kita ada upaya untuk melaksanakan kewajiban mereka, memulangkan mereka. Bukan upaya seluruh pihak karena masih ada stigma.” Hal ini menggambarkan bahwa masalah yang dihadapi oleh WNI eks ISIS bersifat multidimensional, memerlukan pendekatan yang komprehensif dan sensitif.

Film ‘Road to Resilience’ bukan hanya menjadi catatan sejarah bagi individu-individu yang terlibat, tetapi juga sebagai refleksi bagi masyarakat. Ini menjadi pengingat bahwa di balik setiap tindakan, terdapat cerita dan perjalanan yang kompleks. Pahami kebangkitan ideologi ekstrem tidak hanya dari aspek ideologis, tetapi juga dari dinamika kehidupan keluarga dan emosi yang ada di dalamnya. Melalui jalan cerita Febri, film ini berharap dapat membawa perspektif baru dan menumbuhkan empati terhadap mereka yang telah terjebak dalam situasi sulit tersebut.

Berita Terkait

Back to top button