
Banjir melanda sejumlah wilayah di Indonesia akibat hujan deras yang berkepanjangan, memicu kekhawatiran akan dampak bencana yang lebih luas. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) merespons tantangan ini dengan menerapkan teknologi kecerdasan buatan (AI) guna meningkatkan kecepatan dan akurasi analisis cuaca, serta memberikan peringatan dini terhadap potensi bencana.
Sebagai negara kepulauan, Indonesia mengalami risiko tinggi terhadap dampak perubahan iklim yang menyebabkan fenomena cuaca ekstrem, termasuk banjir. Dalam beberapa tahun terakhir, perubahan pola cuaca telah mengarah pada peningkatan frekuensi dan intensitas hujan. BMKG, bekerja sama dengan lembaga Kolaborasi Riset dan Inovasi Industri Kecerdasan Artifisial (Korika), berupaya untuk mengembangkan sistem peringatan dini dan respons (Early Warning and Response System – EWARS), yang diharapkan dapat mengurangi dampak bencana serta memberikan informasi lebih baik mengenai penyakit menular yang terkait dengan iklim.
Deputi Infrastruktur BMKG, Dr. Ing Michael Andreas Purwoadi DEA, menjelaskan bahwa penggunaan teknologi AI dalam analisis cuaca memungkinkan pihaknya untuk menganalisis data dengan lebih cepat dan akurat. “Pemanfaatan teknologi AI memungkinkan kita untuk menganalisis data cuaca secara lebih cepat dan akurat, memberikan peringatan dini bagi potensi bencana,” ungkapnya dalam keterangan pers.
Langkah yang diambil BMKG ini memiliki tujuan yang lebih luas, termasuk memitigasi risiko meningkatnya penyakit menular akibat perubahan iklim. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mencatat pada tahun 2021 adanya 94.610 kasus malaria, dan meskipun terdapat penurunan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, beberapa provinsi, khususnya Papua, masih mencatat angka kejadian yang tinggi.
Kolaborasi antara BMKG dan Korika diharapkan dapat mengembangkan solusi berbasis AI yang mendukung kebijakan kesehatan berbasis data. Ketua Umum Korika, Profesor Dr. Hammam Riza, menyatakan bahwa AI bukan hanya sekadar teknologi melainkan sebuah solusi yang mendorong inovasi, terutama dalam membangun digital twins kesehatan berbasis iklim (climate health). “Sebuah aplikasi AI akan mendukung pembangunan nasional berbasis data,” ujarnya.
Rencana pengembangan ini melibatkan pengintegrasian teknologi AI dengan data meteorologi dan klimatologi untuk meningkatkan kapasitas deteksi dini dan respons terhadap penyakit yang berkaitan dengan perubahan iklim. Hal ini sangat penting mengingat wilayah-wilayah tertentu di Indonesia harus menghadapi bencana yang bukan hanya merugikan infrastruktur, tetapi juga berpotensi menyebabkan krisis kesehatan.
Daftar langkah strategis yang diambill BMKG dalam menghadapi cuaca ekstrem dan bencana banjir di Indonesia, antara lain:
1. Memanfaatkan teknologi AI untuk analisis data cuaca yang lebih cepat.
2. Mengembangkan sistem peringatan dini yang efektif melalui kerja sama dengan Korika.
3. Mengedukasi masyarakat mengenai potensi bencana dan langkah mitigasi.
4. Mengintegrasikan data meteorologi dengan faktor kesehatan untuk memprediksi risiko penyakit.
5. Mendorong inisiatif berbasis data dalam kebijakan kesehatan publik.
Dengan langkah-langkah ini, diharapkan Indonesia dapat meminimalisir dampak negatif dari bencana alam dan perubahan iklim, sambil mempersiapkan sistem kesehatan yang lebih tangguh dan responsif. Sebagai tambahan, integrasi teknologi canggih seperti AI tidak hanya akan membantu dalam mitigasi bencana, tetapi juga berpotensi memajukan pembangunan kesehatan di seluruh pelosok negeri.