Bodohnya AS: Kirim Senjata ke Israel, Ancaman bagi Warga Amerika

Seorang warga Amerika keturunan Palestina, Muhammad Rabee, mengungkapkan rasa kehilangan dan kemarahan setelah putranya yang berusia 14 tahun dibunuh oleh tentara Israel di Tepi Barat. Kejadian tragis ini terjadi saat keluarga Rabee mengunjungi kampung halaman mereka di Turmus Ayya, sebuah desa yang terletak dekat pemukiman Israel di Shilo. Sebagai bagian dari komunitas yang memiliki kewarganegaraan ganda, Rabee menyatakan kekecewaannya terhadap pemerintah Amerika Serikat yang dianggapnya tutup mata terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh Israel.

Dalam wawancara dengan AFP, Rabee menegaskan bahwa penyerangan terhadap putranya memperlihatkan sikap buta AS dalam mendukung Israel. “Trump harus menghentikan situasi ini, berhenti mengirim senjata ke Israel yang kemudian digunakan untuk membunuh rakyatnya,” ungkapnya sambil membawa jenazah anaknya yang diselimuti bendera Palestina. Penembakan tersebut juga melukai dua remaja lainnya, salah satunya juga memiliki kewarganegaraan AS.

Wali Kota Turmus Ayya, Lafi Shalabi, menambahkan bahwa ketiga anak laki-laki tersebut sedang memetik kacang almond hijau ketika mereka terkena tembakan langsung. Sementara itu, militer Israel mengklaim bahwa anak-anak tersebut adalah “teroris” yang melemparkan batu ke arah kendaraan militer. Namun, Rabee meyakini bahwa penggambaran tersebut tidak benar, dan menurutnya, bahwa barang bukti yang disebutkan oleh Israel tidak dapat membenarkan tindakan fatal tersebut.

Di sisi lain, pernyataan Rabee mengenai ketidakpedulian pemerintah AS terhadap serangan Israel terhadap warga Palestina juga diungkapkan oleh banyak anggota komunitas di Turmus Ayya. Majdi Arif, seorang guru pensiunan yang tinggal di New Jersey, melontarkan ketidakpuasan bahwa kredibilitas kedutaan AS sering kali tidak menjawab keluhan mereka mengenai kekerasan yang terus berulang.

Hal ini semakin diperburuk oleh realitas bahwa sekitar 80 persen populasi di Turmus Ayya merupakan warga negara AS, seperti yang dijelaskan oleh Yaser Alkam, aktivis lokal. “Ketika seorang tentara Israel menembaki… anak-anak kecil, ada kemungkinan 80 persen dia mengenai orang Amerika,” tegasnya. Alkam mengeluhkan bahwa serangan terhadap warga Palestina menjadi semakin tidak terkendali, terutama dengan dukungan tidak bersyarat AS terhadap kebijakan Israel yang terus menerus.

Kementerian Kesehatan Palestina melaporkan bahwa sejak awal konflik yang meningkat antara Israel dan Hamas pada Oktober 2023, lebih dari 918 warga Palestina terpaksa menjadi korban kebrutalan yang melanda Tepi Barat. Wali Kota Shalabi menggambarkan keadaan ini sebagai serangkaian serangan yang terjadi tanpa alasan yang jelas, dengan fokus yang sering kali tertumpu pada anak-anak.

Pengamatan di Turmus Ayya oleh berbagai pihak menunjukkan bahwa keadaan di tanah yang diduduki ini semakin memburuk. Serangan dengan tembakan langsung oleh tentara Israel tidak hanya membunuh warga sipil tetapi juga memperkuat ketidakpuasan di kalangan komunitas internasional yang mendukung hak asasi manusia. Saat kedutaan AS di Yerusalem tidak memberikan tanggapan atas permintaan untuk komentar, semakin banyak warga Palestina-Amerika merasa terabaikan dan terlupakan, sebuah kondisi yang tak kunjung surut dalam pusaran konflik yang berkepanjangan.

Kondisi ini berjalan seiring dengan meningkatnya ketegangan global mengenai isu-isu Palestina, mengingat banyaknya seruan bagi perubahan kebijakan luar negeri AS yang dianggap menguntungkan salah satu pihak. Dalam situasi ini, suara komunitas Palestina yang tinggal di AS dan berjuang untuk hak-hak mereka diyakini semakin penting, dan dibutuhkan aksi nyata untuk menghentikan kekerasan yang tak berujung di kawasan tersebut.

Berita Terkait

Back to top button