Brigjen Djuhandhani Santai Hadapi Propam Soal Penggelapan Tanah

Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Polri, Brigjen Djuhandhani Rahardjo Puro, baru-baru ini menanggapi laporan yang diajukan kepada Divisi Propam Polri terkait dugaan penggelapan sertifikat tanah. Laporan tersebut diajukan oleh Brata Ruswanda, yang mengklaim bahwa sertifikat tanahnya telah digelapkan dalam proses penyidikan Oleh Bareskrim.

Brigjen Djuhandhani menegaskan bahwa laporan tersebut harus dilihat secara objektif. “Kalau laporan penyidik ataupun menggelapkan itu, ‘kan, harus apa yang digelapkan? Semuanya ada di Bareskrim. Semuanya sesuai aturan yang dilakukan. Kalau dilaporkan sebagai penggelapan, silakan,” ujarnya, menunjukkan keyakinan bahwa semua operasional yang dilakukan selama ini telah sesuai dengan prosedur yang berlaku.

Dalam keterangan lebih lanjut, Djuhandhani menjelaskan tentang asal mula kasus tersebut. Ia mengungkapkan bahwa pihaknya menerima laporan tentang pemalsuan dokumen tanah. Seiring dengan pemeriksaan yang dilakukan, pihak pelapor mengirimkan dokumen asli sertifikat tanah sebagai barang bukti. Namun, hasil laboratorium forensik menunjukkan bahwa sertifikat yang dilaporkan tersebut adalah palsu.

Dijelaskan lebih lanjut oleh Djuhandhani, jika barang bukti sudah tidak digunakan dalam proses penyidikan, maka sesuai dengan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), barang tersebut harus dikembalikan kepada pemiliknya. Namun, hal ini harus dilakukan dengan catatan bahwa barang yang dikembalikan harus disertai informasi bahwa surat tersebut berdasarkan hasil laboratorium forensik adalah nonidentik.

Laporan penggelapan yang menyudutkan Brigjen Djuhandhani dan tiga anak buahnya diterima oleh Divisi Propam Polri. Pihak pelapor, yakni Poltak Silitonga, mengklaim bahwa mereka melakukan penggelapan serta menahan dan menyembunyikan surat-surat berharga milik kliennya. Laporan tersebut telah resmi terdaftar dengan nomor SPSP2/000646/II/2025/BAGYANDUAN, dan diunggah pada 10 Februari 2025.

Poltak memberi tahu bahwa kliennya, Brata Ruswanda, ahli waris dari sertifikat tanah yang menjadi inti permasalahan ini, telah menyerahkan surat tanah asli kepada Bareskrim selama bertahun-tahun dengan harapan mendapatkan kejelasan. “Sudah tujuh tahun lamanya tidak ada kejelasan, klien kami pun meminta surat itu agar dikembalikan karena sudah tidak percaya lagi terhadap penyidik Dittipidum,” jelas Poltak, merujuk pada posisi kliennya yang merasa dirugikan akibat penahanan surat tanah tanpa alasan yang jelas.

Reaksi Djuhandhani terhadap laporan tersebut bersikap positif dan menganggap hal ini sebagai bentuk koreksi bagi lembaganya. “Pada prinsipnya itu koreksi buat kami agar kami tetap profesional,” ungkapnya. Ini menunjukkan upaya untuk menjaga integritas dan profesionalisme dalam penyidikan yang dilakukan oleh Bareskrim.

Kasus ini menyoroti isu penting terkait penanganan dokumen tanah dan konflik kepemilikan yang sering kali melibatkan proses hukum yang panjang. Selain itu, dugaan penyalahgunaan atau ketidakjelasan dalam menangani dokumen berharga juga menjadi sorotan utama. Persoalan seperti ini memerlukan transparansi dan akuntabilitas dalam penanganan, agar kepercayaan publik terhadap kepolisian tetap terjaga.

Melihat situasi ini, publik menunggu langkah selanjutnya dari Divisi Propam Polri dalam menindaklanjuti laporan yang telah diterima. Sementara itu, Djuhandhani bersikukuh bahwa seluruh proses penyidikan yang dilakukan selama ini tetap profesional, dan berharap agar kasus ini dapat segera menemukan titik terang demi keadilan bagi semua pihak yang terlibat.

Berita Terkait

Back to top button