Saat ini, banyak content creator yang melabeli diri sebagai food vlogger. Mereka dengan mudah memberikan penilaian terhadap makanan atau restoran, dan ulasan mereka sering menjadi referensi bagi warganet. Namun, Chef Renatta Moeloek memberikan pandangan kritis mengenai fenomena ini, mengungkapkan bahwa memberi ulasan atas makanan tidak semudah yang dibayangkan.
Dalam sebuah wawancara yang diunggah di YouTube oleh Kemal Palevi, Chef Renatta menegaskan bahwa penilaian terhadap makanan itu rumit dan penuh nuansa. "Susah, enggak segampang itu juga sebenarnya buat ngereview," ungkap Renatta. Ia menambahkan bahwa seringkali penilaian yang diberikan oleh food vlogger bersifat subyektif dan tidak mempertimbangkan sejumlah faktor penting lainnya.
Contoh konkret yang ia berikan adalah ketika seorang food vlogger memberikan rating rendah, seperti satu bintang dari lima, sambil menyatakan bahwa "makanannya semua enak, tapi value for money kurang." Menurut Renatta, penilaian seperti ini kurang tepat karena nilai suatu makanan juga sangat dipengaruhi oleh konteksnya. "Pas gue lihat lagi, itu sangat reasonable untuk lokasinya. Kaliber resto segitu, itu normal. Itu bukan value for money, itu enggak cocok sama kantong lo," jelasnya dengan nada berkelakar.
Chef Renatta mengakui bahwa tidak semua food vlogger tidak paham makanan, namun ia menekankan pentingnya untuk tidak menjadikan satu opini sebagai patokan. "Gue enggak bilang semuanya kayak gitu (enggak ngerti makanan), tapi enggak bisa jadi patokan karena this one person bilang enak terus (pasti enak)," tegasnya. Ini menunjukkan bahwa penilaian yang hanya didasarkan pada satu sudut pandang dapat menyesatkan.
Di bawah ini adalah beberapa alasan mengapa ulasan food vlogger sebaiknya tidak dijadikan acuan tunggal dalam memilih tempat makan:
-
Subjektivitas Penilaian: Banyak food vlogger yang memberikan ulasan berdasarkan selera pribadi yang tidak selalu dapat diterima oleh semua orang.
-
Kurangnya Keahlian: Tidak semua food vlogger memiliki pengetahuan mendalam tentang kuliner, teknik memasak, atau nilai gizi, sehingga penilaian mereka bisa jadi kurang akurat.
-
Endorsement: Beberapa food vlogger mungkin terlibat dalam kerja sama dengan restoran tertentu yang dapat memengaruhi objektivitas ulasan mereka.
-
Kondisi dan Waktu Berubah: Kualitas makanan dan pelayanan dapat bervariasi dari waktu ke waktu, sehingga penilaian yang pernah diberikan mungkin tidak relevan di kunjungan berikutnya.
- Konteks Lokasi: Harga makanan sering kali diterjemahkan berbeda oleh setiap orang. Apa yang dianggap mahal di satu lokasi bisa jadi wajar di lokasi lain, tergantung pada berbagai faktor ekonomi.
Melihat fenomena ini, Chef Renatta mendorong publik untuk lebih kritis dalam menerima penilaian yang diberikan oleh food vlogger. Memang, banyak dari mereka yang mampu menyajikan konten secara menarik, tetapi tidak semua punya keahlian yang memadai untuk menilai kualitas makanan secara tepat.
Dengan meningkatnya jumlah food vlogger, penting bagi penonton untuk memahami konteks di balik setiap ulasan dan tidak sepenuhnya mengandalkan opini satu orang. Keterbukaan untuk mencoba berbagai jenis makanan dan mendengarkan pendapat dari sumber yang beragam selain food vlogger dapat memberikan pengalaman kuliner yang lebih baik.
Sebagai penutup, pandangan kritis dari Chef Renatta mengenai food vlogger mengingatkan kita semua akan perlunya penilaian yang lebih mendalam dan objektif dalam dunia kuliner. Bagi para pecinta kuliner, eksplorasi pribadi dan penilaian sendiri juga sangat penting untuk menemukan hidangan yang sesuai dengan selera masing-masing.