China Atur Penggunaan Face Recognition, Tidak Boleh Dipaksakan

Regulator China baru-baru ini mengumumkan peraturan baru yang mengatur penggunaan teknologi pengenalan wajah atau face recognition. Dalam peraturan yang mulai berlaku pada bulan Juni 2025 ini, pihak berwenang menegaskan bahwa individu tidak boleh dipaksa untuk memverifikasi identitas mereka menggunakan teknologi tersebut. Langkah ini diambil sebagai tanggapan terhadap kekhawatiran masyarakat mengenai potensi pelanggaran privasi yang terkait dengan penggunaan teknologi yang semakin meluas ini.

Administrasi Dunia Maya China (CAC) mengemukakan bahwa peraturan ini bertujuan untuk memberikan pilihan alternatif bagi individu yang tidak ingin menggunakan teknologi pengenalan wajah. “Individu yang tidak setuju dengan verifikasi identitas melalui informasi wajah harus diberikan pilihan lain yang wajar dan mudah,” ungkap CAC dalam pernyataan resminya.

Peraturan baru ini mencakup pengaturan penggunaan teknologi pengenalan wajah dalam kehidupan sehari-hari, seperti di hotel atau untuk akses ke lingkungan yang terjaga keamanannya. Namun, perlu dicatat bahwa penggunaan teknologi ini oleh aparat keamanan masih belum termasuk dalam peraturan yang baru disetujui oleh Kementerian Keamanan Publik Tiongkok. Keberadaan regulasi khusus untuk pengawasan keamanan ini menimbulkan pertanyaan tentang kesiapan pihak berwenang dalam melindungi privasi warganya.

Dalam konteks perkembangan teknologi, beberapa perusahaan lokal, seperti Sensetime dan Megvii, telah berinvestasi miliaran dolar untuk mengembangkan teknologi pengenalan wajah berbasis kecerdasan buatan (AI). Meski teknologi ini menjanjikan efisiensi dalam berbagai sektor, penyebarannya juga memicu kekhawatiran di masyarakat tentang pelanggaran privasi.

Sebuah survei yang dilakukan oleh lembaga pemikir yang berafiliasi dengan media milik pemerintah, The Beijing News, menunjukkan bahwa 75% responden merasa khawatir tentang penggunaan teknologi pengenalan wajah, dan 87% responden menolak penerapannya di ruang publik. Angka-angka tersebut mencerminkan adanya kekhawatiran yang mendalam di kalangan masyarakat terkait dengan privasi dan kontrol informasi pribadi.

Langkah-langkah yang diambil oleh China dalam mengatur penggunaan teknologi ini bukanlah hal baru. Pada Juli 2021, Mahkamah Agung China telah melarang penggunaan teknologi pengenalan wajah untuk verifikasi identitas di tempat-tempat umum seperti pusat perbelanjaan dan hotel. Masyarakat diizinkan untuk meminta metode verifikasi alternatif saat memasuki lingkungan tempat tinggal mereka. Regulasi ini juga berfungsi untuk melindungi hak-hak individu dalam situasi yang dapat menimbulkan risiko terhadap privasi mereka.

Selain itu, pada November 2021, Undang-Undang Perlindungan Informasi Pribadi juga mulai diberlakukan, yang mengharuskan persetujuan pengguna sebelum data wajahnya dapat dikumpulkan. Pelanggaran terhadap undang-undang ini dapat mengakibatkan denda berat bagi perusahaan yang tidak mematuhi aturan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah China berusaha untuk mengatur teknologi yang semakin berpengaruh dalam masyarakat, sambil mempertimbangkan aspek perlindungan data pribadi.

Di sisi lain, meski peraturan baru ini dapat memberikan angin segar bagi privasi individu, tantangan masih ada di depan. Bagaimana penerapan di lapangan dan kepatuhan dari perusahaan-perusahaan lokal serta aparat keamanan akan menjadi faktor penting yang menentukan efektivitas regulasi ini. Selain itu, masyarakat juga memiliki hak untuk terus mengawasi penggunaan teknologi ini dan mendorong kebijakan yang lebih baik guna melindungi privasi mereka.

Dengan perubahan dan perkembangan cepat dalam teknologi pengenalan wajah, pemerintahan China tampaknya mengambil langkah proaktif untuk menangani kekhawatiran masyarakat. Meski demikian, perdebatan tentang hak privasi dan keamanan publik akan terus berlanjut, seiring dengan evolusi teknologi dan cara-cara manusia berinteraksi dengan sistem yang mengandalkan data biometrik.

Berita Terkait

Back to top button