
Analis politik dari Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung, Kristian Widya Wicaksono, menilai bahwa Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, perlu mengintegrasikan empat pola pikir strategis dalam proses pengambilan keputusan pemerintah. Pendapat ini muncul setelah mengamati gaya kepemimpinan KDM yang sering kali berfokus pada interaksi langsung dengan masyarakat. Namun, Kristian menekankan bahwa keputusan yang diambil sering kali tergesa-gesa tanpa mempertimbangkan mendalam, yang dapat mengakibatkan efektivitas kebijakan yang rendah.
Kristian menggarisbawahi bahwa meskipun pendekatan turun ke masyarakat sangat penting, KDM perlu memperkuat metode pengambilan keputusan agar lebih berdasarkan analisis yang matang. Ia mengkritik beberapa kebijakan KDM yang menimbulkan masalah, seperti penumpukan antrean di Samsat akibat kebijakan pemutihan pajak dan amblasnya jembatan Bailey di Karawang sebagai contoh konkret dari keputusan yang diambil tanpa perencanaan yang baik. Selain itu, masalah distribusi santunan Idulfitri untuk supir angkot di Bogor juga menambah daftar tantangan yang dihadapi akibat keputusan yang tidak tahapan.
Agar kebijakan yang diluncurkan lebih responsif dan efektif, Kristian menyarankan KDM untuk mengadopsi empat pola pikir kunci. Pertama adalah expert thinking, yaitu kemampuan untuk mengandalkan keahlian teknis dan pemahaman yang mendalam terhadap regulasi serta proses operasional. Dengan pendekatan ini, seorang kepala daerah yang memahami pengelolaan anggaran dapat dengan cepat mengidentifikasi pemborosan dan memberikan arahan solusi yang tepat.
Kedua adalah critical thinking, yang merupakan keberanian untuk mempertanyakan asumsi yang ada serta mengevaluasi bukti yang ada. Dalam konteks reformasi kesejahteraan sosial, Kristian menegaskan pentingnya mengevaluasi apakah data yang digunakan dalam pengambilan keputusan adalah mutakhir dan relevan. Pendekatan ini bisa menciptakan forum partisipatif dengan masyarakat untuk mendapatkan perspektif yang lebih luas, sehingga kebijakan yang diambil lebih tepat sasaran.
Ketiga, strategic thinking berfokus pada cara pandang jangka panjang. Dengan mengantisipasi tren dan tantangan ke depan, seorang kepala daerah dapat merancang rencana yang melibatkan investasi di bidang transportasi, teknologi informasi, serta pendidikan. Contohnya, mengintegrasikan konsep smart city dengan infrastruktur yang berkelanjutan menjadi langkah penting dalam menghadapi pertumbuhan populasi dan perubahan iklim.
Terakhir, system thinking menekankan pentingnya keterhubungan antar sektor. Sebagai contoh, untuk menyelesaikan masalah tunawisma, perlu adanya kolaborasi lintas sektor seperti pendidikan, kesehatan, dan ketenagakerjaan. Keempat pola pikir tersebut, menurut Kristian, dapat menjadi bahan kontemplasi bagi KDM dan kepala daerah lainnya, menyediakan kerangka kerja yang lebih komprehensif dan inovatif dalam tata kelola pemerintahan.
Penerapan keempat pola pikir ini diharapkan tidak hanya meningkatkan efisiensi pemerintah, tetapi juga menghadirkan kebijakan yang mampu mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat. Penguatan dalam pengambilan keputusan yang berbasis pada analisis mendalam dan strategi yang terencana akan berkontribusi positif terhadap pembangunan daerah.
Dengan keadaan seperti ini, KDM didorong untuk terus bergerak ke lapangan merespons kebutuhan masyarakat, sembari menerapkan keempat pola pikir yang telah diungkapkan. Masyarakat pun menanti kebijakan yang tidak hanya cepat diterapkan, tetapi juga membawa dampak positif yang berkelanjutan bagi mereka.