Amerika Serikat saat ini sedang melakukan penyelidikan terhadap perusahaan kecerdasan buatan (AI) asal China, DeepSeek, terkait kemungkinan pengadaan unit pemrosesan grafis (GPU) kelas atas dari Nvidia dengan memanfaatkan perantara di Singapura. Penyelidikan ini dilatarbelakangi oleh kekhawatiran yang semakin mendalam tentang penggunaan teknologi canggih yang dirancang untuk keperluan militer dan keamanan, di tengah situasi geopolitik yang semakin kompleks.
Menurut laporan dari Bloomberg, model AI terbaru yang dikembangkan oleh DeepSeek, yaitu R1, diklaim memiliki kinerja yang setara dengan model unggulan dari dua raksasa teknologi, OpenAI dan Google. Keberadaan model yang sangat efisien ini semakin menambah ketertarikan penyelidik untuk lebih memahami rantai distribusi yang mungkin melibatkan praktik pengadaan yang tidak sesuai dengan ketentuan.
Kecurigaan ini diperkuat oleh data yang menunjukkan peningkatan signifikan dalam pangsa pendapatan Nvidia dari Singapura. Dalam dua tahun terakhir, bagian dari pendapatan Nvidia yang berasal dari Singapura melonjak dari 9% menjadi 22%. Lonjakan ini memunculkan spekulasi bahwa Singapura bisa jadi menjadi jalur alternatif bagi perusahaan-perusahaan China untuk mendapatkan GPU canggih yang tidak dapat mereka impor secara langsung akibat pembatasan yang diberlakukan oleh pemerintah Amerika Serikat.
Meskipun DeepSeek belum mengungkapkan secara terbuka jenis perangkat keras yang digunakan untuk melatih model R1, mereka sebelumnya menyatakan bahwa model V3 yang dimilikinya dilatih menggunakan 2.048 unit GPU Nvidia H800 dalam waktu dua bulan, dengan total penggunaan mencapai 2,8 juta jam GPU. Angka-angka ini menunjukkan efisiensi yang luar biasa dalam pengembangan teknologi AI tersebut.
Sebagai perbandingan, Meta, yang merupakan salah satu perusahaan teknologi terkemuka, dilaporkan membutuhkan 30,8 juta jam GPU untuk melatih model Llama 3 yang memiliki 405 miliar parameter dengan menggunakan 16.384 unit H100 selama 54 hari. Data tersebut menunjukkan bahwa DeepSeek, dengan model R1-nya, berhasil mencapai efisiensi pelatihan yang lebih tinggi, yang sudah menimbulkan spekulasi bahwa mereka mungkin menggunakan kluster GPU yang lebih kuat dibandingkan dengan perangkat yang digunakan dalam model sebelumnya, V3.
Penyelidikan ini juga menunjukkan bagaimana perusahaan-perusahaan AI di kawasan Asia, khususnya yang berbasis di China, mencari cara untuk tetap berinovasi meskipun terdapat pembatasan dari pemerintah AS. Melihat potensi bahaya yang dapat ditimbulkan oleh teknologi AI yang tidak terkontrol, langkah pemerintah AS ini diharapkan dapat menjaga keamanan nasional serta mendukung etika dan standar penggunaan teknologi canggih.
Berkaitan dengan hal ini, ada beberapa poin penting yang perlu dicatat:
- Penyelidikan AS: Fokus pada kemungkinan pengadaan GPU oleh DeepSeek melalui perantara di Singapura.
- Model AI R1: Diduga memiliki performa setara model unggulan dari OpenAI dan Google.
- Lonjakan Pendapatan Nvidia: Peningkatan signifikan dari 9% menjadi 22% dalam dua tahun mengindikasikan lebih banyak transaksi melalui Singapura.
- Studi Kasus Efisiensi: DeepSeek menggunakan 2.048 GPU H800, jauh lebih efisien dibandingkan pelatihan model dari Meta.
Penyelidikan ini belum memunculkan hasil akhir, namun menyoroti tantangan dalam penegakan regulasi terkait teknologi yang sangat maju dan potensi risiko yang mungkin timbul jika praktik pengadaan semacam ini terus berlanjut. Para pengamat industri kini menantikan perkembangan lebih lanjut terkait dengan bagaimana AS akan merespons situasi ini dan bagaimana hal ini dapat mempengaruhi ekosistem AI global.