
Amerika Serikat kembali menimbulkan ketegangan dengan Denmark setelah memberikan tekanan yang dianggap tidak dapat diterima terhadap Greenland, wilayah otonomi Denmark. Pernyataan ini disampaikan oleh Perdana Menteri Denmark, Mette Frederiksen, dalam sebuah wawancara dengan penyiar TV2 pada hari Selasa menjelang kedatangan delegasi AS ke Greenland.
Kunjungan delegasi AS, yang direncanakan berlangsung dari Kamis hingga Sabtu, akan dipimpin oleh Usha Vance, istri Wakil Presiden JD Vance, dan mencakup nama-nama penting seperti Penasihat Keamanan Nasional Gedung Putih Mike Waltz dan Menteri Energi Chris Wright. Namun, pemerintah Denmark dan Greenland menegaskan bahwa mereka tidak mengundang delegasi tersebut.
Frederiksen menegaskan, “Saya harus mengatakan bahwa tekanan yang diberikan pada Greenland dan Denmark dalam situasi ini tidak dapat diterima. Dan itu adalah tekanan yang akan kami tolak.” Pernyataan tersebut mencerminkan keprihatinan Denmark terhadap ancaman kedaulatan wilayahnya.
Delegasi AS mengklaim kunjungan mereka bertujuan untuk “mempelajari tentang Greenland, budayanya, sejarahnya, dan orang-orangnya.” Namun, Frederiksen menolak anggapan bahwa kunjungan tersebut bersifat pribadi, dengan menyatakan, “Anda tidak dapat melakukan kunjungan pribadi dengan perwakilan resmi dari negara lain.”
Greenland, sebagai pulau terbesar di dunia, memiliki posisi strategis di antara Samudra Arktik dan Atlantik. Sebelumnya, Presiden AS Donald Trump pernah mengekspresikan minat untuk membeli Greenland, menyebutnya sebagai wilayah yang penting untuk keamanan nasional dan internasional. Dalam pidatonya, Trump berkata, “Kami memerlukan Greenland demi keamanan nasional dan keamanan internasional.”
Data dari sebuah survei pada bulan Januari menunjukkan bahwa 85 persen penduduk Greenland menolak bergabung dengan AS. Penolakan ini semakin ditegaskan oleh pemimpin partai-partai politik di parlemen Greenland, yang secara kolektif mengecam pernyataan Trump mengenai niatnya untuk mencaplok pulau tersebut. Dalam pernyataan bersama mereka, para pemimpin partai politik mengecam tindakan Trump sebagai “tidak dapat diterima,” dan menekankan komitmen mereka terhadap kedaulatan Greenland.
Kolaborasi dan pernyataan yang dibuat oleh berbagai partai politik di Greenland menunjukkan dukungan bulat terhadap keberlanjutan kedaulatan mereka. “Greenland akan terus berupaya demi kepentingannya, yang dilakukan melalui jalur diplomatik sesuai hukum dan regulasi internasional,” ungkap para pemimpin partai.
Isu kedaulatan ini kembali menghangat setelah Trump meragukan legitimasi klaim Denmark atas Greenland, yang disebutnya sebagai “jauh dan tidak ada hubungannya.” Ia menekankan bahwa Amerika Serikat berencana untuk memperkuat kepentingan militer mereka di wilayah tersebut.
Pernyataan-pernyataan Trump serta tekanan diplomatik yang dihasilkan memicu reaksi yang cukup kuat di Greenland. Beberapa pemimpin politik setempat menganggap tindakan ini sebagai serangan terhadap hubungan yang telah dibangun dengan sekutu-sekutu di kawasan tersebut. Sebagai bentuk protes, sebuah aksi unjuk rasa direncanakan di Nuuk, ibu kota Greenland, di mana demonstran akan berkumpul di pusat kota sebelum menuju ke Konsulat Amerika Serikat.
Konteks geopolitik ini menunjukkan bagaimana Greenland, dengan sumber daya alam yang melimpah dan posisi strategis di Arktik, terus menjadi pusat perhatian dari kekuatan global. Meski Denmark dan Greenland menolak tawaran untuk menjadi bagian dari Amerika Serikat, minat dari Washington untuk mengakses pulau ini menunjukkan betapa pentingnya Greenland di kancah internasional, terutama dalam hal keamanan dan sumber daya. Isi ketegangan ini tidak hanya berdampak pada hubungan AS dan Denmark, tetapi juga mencerminkan tantangan yang lebih besar dalam hubungan internasional di era globalisasi saat ini.