Ditangkapnya Rodrigo Duterte, Marcos Jr Tegaskan Tak Ada Dendam

Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr baru-baru ini memberikan pernyataan mengenai penangkapan mantan presiden Rodrigo Duterte, yang terjadi pada Selasa, 11 Maret 2025, di bandara Manila. Penangkapan ini dilakukan berdasarkan perintah dari Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) terkait tuduhan pelanggaran hak asasi manusia yang dialamatkan kepada Duterte selama masa jabatannya. Dalam konferensi pers, Marcos menegaskan bahwa penangkapan tersebut tidak ada hubungannya dengan motif politik dan hanya merupakan tindakan yang dilakukan untuk mematuhi prosedur internasional yang berlaku, seperti yang diatur oleh Interpol.

Duterte ditangkap saat tiba dari Hong Kong dan segera diterbangkan ke Den Haag, Belanda. Marcos, ketika ditanya oleh wartawan mengenai apakah penangkapan ini berkaitan dengan potensi antagonisme politik menjelang pemilu presiden yang akan datang, yakni pada tahun 2028, merespons dengan tawa. Dia berujar, “Saya yakin mereka akan mengatakan itu.” Marcos melanjutkan bahwa kasus yang melibatkan Duterte telah dimulai sejak tahun 2017, ketika Filipina masih menjadi anggota ICC.

Lebih lanjut, Marcos menegaskan bahwa semua proses hukum terhadap Duterte telah dimulai sebelum masa kepemimpinannya dan bahwa pemerintahannya tidak terlibat dalam kerja sama dengan ICC. “Jadi, saya tidak melihat itu sebagai penindasan politik dari pihak saya karena sudah dimulai sebelum saya muncul,” lanjutnya. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun terlihat ada peluang untuk menciptakan narasi politik mengenai penangkapan tersebut, Marcos dengan tegas menolak untuk dikaitkan dengan itu.

Pemerintah Filipina, seperti dinyatakan oleh Marcos, hanya bertindak sebagai pihak yang mematuhi permintaan Interpol, karena Filipina resmi menarik diri dari keanggotaan ICC pada tahun 2019. “Mereka meminta banyak dokumen, tapi kami tidak memberikan apa pun. Namun, kami tidak bisa menolak Interpol ketika mereka meminta bantuan kami untuk menangkap orang ini,” tambahnya.

Sebelum penangkapan, Kantor Komunikasi Kepresidenan Filipina telah menerima surat perintah resmi dari ICC yang meminta penangkapan Duterte. Penangkapan ini tidak lepas dari latar belakang kebijakan kontroversial Duterte selama menjabat, terutama yang berkaitan dengan perang melawan narkoba. Selama periode jabatannya dari 2016 hingga 2022, diperkirakan lebih dari 6.000 orang tewas akibat operasi yang dilaksanakan oleh kepolisian. Namun, lembaga hak asasi manusia dan ICC menilai bahwa jumlah kematian yang sebenarnya jauh lebih tinggi, berkisar antara 12.000 hingga 30.000, dan mencakup banyak kasus eksekusi tanpa proses hukum.

Kejadian ini memicu perdebatan di masyarakat terkait dampak dari kebijakan Duterte yang telah terbukti menjadi tema sensitif dalam politik Filipina. Banyak yang merasa penangkapan ini adalah bagian dari dinamika politik yang lebih rumit, sementara yang lain berpendapat bahwa Indonesia menunjukkan komitmen untuk menjalankan hukum internasional dengan benar.

Saat ini, masyarakat Filipina menantikan perkembangan lebih lanjut mengenai kasus ini, terutama apakah penangkapan Duterte akan berdampak pada pemilihan umum mendatang atau hubungan diplomatik dengan negara-negara lain. Selain itu, potensi dampak dari kebijakan luar negeri pemerintahan Marcos terkait masalah HAM juga menjadi perhatian masyarakat internasional. Penangkapan ini tentunya akan memperkuat posisi Filipina dalam penerapan hukum dan keadilan di tingkat global, bahkan sekaligus menguji kredibilitas pemerintah Marcos dalam menegakkan prinsip-prinsip hak asasi manusia.

Berita Terkait

Back to top button