Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, kembali membuat gelombang di pasar global dengan kebijakan tarif bea masuk (BM) impor yang berpotensi menciptakan perang dagang kedua. Strategi proteksionis ini tidak hanya akan berdampak pada hubungan dagang AS dengan Kanada, Meksiko, dan China, tetapi juga dapat meluas ke negara-negara Eropa. Dengan langkah ini, Trump terlihat ingin melindungi produk domestik, meskipun banyak ekonom memperingatkan akan konsekuensi negatif yang mungkin timbul.
Kebijakan tarif baru ini mencakup tarif 25% untuk semua barang dari Meksiko dan Kanada, serta tarif 10% untuk barang-barang yang berasal dari China. Menariknya, Trump memberikan kemungkinan pengecualian untuk minyak dari Kanada, yang hanya akan dikenakan tarif 10%. Selain itu, tarif lebih luas untuk minyak dan gas alam diperkirakan akan diberlakukan pertengahan Februari. Pemberlakuan tarif penuh untuk barang dari Kanada dan Meksiko mulai efisien pada 4 Februari 2025.
Eskalasi ketegangan ini diperkirakan akan mengakibatkan penguatan dolar AS serta imbal hasil (yield) obligasi AS tenor 10 tahun. Mengingat tren ini, pasar negara berkembang mungkin akan mengalami kesulitan, dengan kemungkinan terpuruknya saham, obligasi, serta mata uang mereka. Analisis dari Senior Market Analyst Mirae Asset Sekuritas, Nafan Aji Gusta, menunjukkan bahwa kebijakan proteksionis Trump dapat memperburuk fragmentasi perdagangan global. “Hal ini berpotensi memperburuk pertumbuhan ekonomi global yang diprediksi akan jatuh hingga di bawah 3% pada 2025-2026,” ujarnya.
Dalam konteks ini, Indonesia harus bersiap menghadapi dampak dari kebijakan tersebut. Dengan skenario ini, rupiah diprediksi sulit untuk menguat, dan pasar saham di Indonesia diperkirakan akan tetap fluktuatif selama semester pertama tahun ini. Investor diharapkan untuk lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan investasi.
Selaras dengan pandangan tersebut, Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS), Yose Rizal Damuri, menilai bahwa AS akan mengadopsi kebijakan ekonomi yang bisa dianggap sebagai “senjata” untuk mencapai kepentingan politik dan ekonomi tertentu. “Posisi geopolitik AS akan menjadi lebih penting lagi dalam konteks ini,” katanya.
Dari sisi positif, Nafan Aji Gusta menekankan bahwa Indonesia memiliki peluang untuk menjaga stabilitas meskipun dampak dari kebijakan Trump cenderung negatif secara global. Pentingnya forum multilateral dalam meredakan ketegangan perdagangan dan geopolitik pun ditekankan, agar negara-negara dapat bekerja sama untuk mencapai solusi yang saling menguntungkan.
Berdasarkan analisa lanjutan, ada beberapa faktor lain yang juga bisa berkontribusi pada gejolak ekonomi global, yaitu perkembangan dinamika geopolitik dan tantangan perubahan iklim. IMF dan Bank Dunia sudah mengemukakan prediksi bahwa tanpa adanya kebijakan yang tepat, ekonomi global bisa mengalami stagnasi, bahkan resesi.
Di tengah ketidakpastian ini, respons terhadap kebijakan Trump akan menjadi kunci bagi negara-negara yang terlibat, termasuk Indonesia. Hal ini membuka peluang bagi pemerintah dan pelaku usaha untuk melakukan strategi adaptasi yang lebih baik, sehingga tak hanya bertahan, namun juga berinovasi dalam menghadapi hengkangnya investasi dari pasar negara berkembang sebagai efek samping dari kuatnya dollar AS.
Bagaimanapun, keputusan Trump untuk menyulut perang dagang kedua ini menunjukkan bahwa persaingan ekonomi global sedang berada di titik kritis, di mana kebijakan satu negara dapat memicu dampak yang jauh lebih luas. Beobservation terhadap pergerakan pasar di seluruh dunia akan menjadi penting untuk memahami arah yang akan diambil oleh ekonomi global ke depannya.