Dorongan FCTC di Indonesia: Bila Nasib Pekerja Tembakau Terancam?

Dorongan advokasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melalui rancangan peraturan yang ketat, seperti Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes), telah menimbulkan kekhawatiran di kalangan pelaku industri tembakau Indonesia. Mereka, termasuk petani dan pekerja, menganggap bahwa langkah tersebut akan berdampak negatif terhadap keberlangsungan hidup mereka. Dalam pandangan mereka, isu ini tidak hanya sekadar tentang kesehatan masyarakat, tetapi juga menyentuh aspek ekonomi yang lebih luas.

FCTC, yang diinisiasi oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), bertujuan untuk mengurangi konsumsi tembakau di seluruh dunia dengan menerapkan sejumlah peraturan ketat, salah satunya berupa penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek. Namun, banyak pihak berpendapat bahwa regulasi ini tidak sesuai dengan kondisi sosial dan ekonomi di Indonesia, di mana tembakau sudah lama menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat.

Dampak dari kebijakan ini tampak nyata, terutama bagi daerah yang ekonomi warganya sangat bergantung pada hasil tembakau. Menurut Wakil Sekretaris Jenderal Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Muhammad Sirod, penyeragaman kemasan rokok akan membawa konsekuensi serius bagi industri tembakau nasional. Ia mengungkapkan bahwa industri tembakau di Indonesia, dari hulu ke hilir, memiliki dampak positif yang signifikan, termasuk menyumbang devisa negara hingga ratusan triliun.

Beberapa poin penting mengenai dampak Rancangan Permenkes terhadap industri tembakau mencakup:

  1. Pengurangan Lapangan Kerja: Kebijakan yang membatasi industri kemasan berpotensi mematikan sektor percetakan, yang pada gilirannya akan mengakibatkan pengurangan lapangan kerja.

  2. Imbas Ekonomi Daerah: Larangan tegas dapat melemahkan ekonomi lokal di daerah-daerah yang bergantung pada produksi tembakau, terlebih di musim kemarau saat tanaman ini tumbuh subur.

  3. Penyerap Tenaga Kerja: Industri tembakau menyerap tenaga kerja tidak hanya dalam sektor pertanian, tetapi juga produksi, distribusi, dan sektor informal yang terkait.

  4. Kontribusi Terhadap Pendapatan Negara: Cukai hasil tembakau (CHT) menyumbang sekitar 96-97% dari total penerimaan negara di sektor bea dan cukai, menunjukkan betapa pentingnya sektor ini bagi perekonomian nasional.

  5. Ketidakpuasan Terhadap Tekanan Global: Beberapa pemain industri merasa tidak perlu mengikuti semua tekanan global terkait tembakau, karena ada motivasi ekonomi di baliknya, di mana negara-negara tanpa industri tembakau berusaha mempengaruhi pasar global untuk kepentingan mereka sendiri.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), Kusnadi Mudi, menegaskan bahwa dorongan ratifikasi FCTC sangat tidak sejalan dengan kondisi realita ekosistem tembakau di Indonesia. Ia menyatakan bahwa industri ini telah memberikan kontribusi besar terhadap perekonomian negara dan menjadi sumber hidup bagi enam juta tenaga kerja yang terlibat langsung.

Lebih lanjut, Mudi mengungkapkan bahwa tembakau adalah satu-satunya tanaman yang dapat tumbuh dengan baik di musim kemarau. Ia mengindikasikan bahwa regulasi yang terlalu ketat hanya akan mengancam keberlangsungan para petani, buruh pabrik, dan banyak pihak lainnya yang bergantung pada distribusi produk tembakau.

Para pelaku industri tembakau mengingatkan bahwa tekanan untuk mematuhi standar global tanpa mempertimbangkan kondisi lokal justru dapat menimbulkan krisis sosial dan ekonomi yang lebih dalam. Oleh karena itu, mereka mendesak pemerintah untuk mengkaji ulang setiap kebijakan yang dapat merugikan nasib pekerja dan pelaku industri tembakau di tanah air.

Berita Terkait

Back to top button