
DPR RI baru-baru ini mengungkapkan keprihatinan mengenai setoran pengelolaan aset negara yang berasal dari Badan Layanan Umum (BLU) Pengawas Pengelolaan Pusat Pengelola Komplek Gelora Bung Karno (PPKGBK). Anggota DPR RI dari Komisi XIII, Mafirion, menegaskan bahwa kontribusi PPKGBK ke negara dalam bentuk penerimaan negara bukan pajak (PNBP) selama 10 tahun terakhir sangat memprihatinkan, hanya mencatatkan sekitar 0,1 persen dari total aset yang dikelola, yang mencapai Rp347 triliun.
Mafirion menyatakan, “Asetnya Rp347 triliun, pendapatan 10 tahun hanya Rp435 miliar. Kenapa kecil sekali? Apakah direksinya tidak punya strategi sebagai bisnis?” ungkapnya dalam rapat dengar pendapat (RDP) yang diadakan bersama Sekretaris Kemensetneg Setya Utama dan Dirut PPKGBK Rakhmadi Afif Kusumo di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta.
Anggota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini menambahkan bahwa jika kondisi ini terus berlanjut, negara akan mengalami kerugian yang signifikan di masa mendatang. Ia menggambarkan situasi tersebut dengan pernyataan bahwa pengelolaan aset yang seharusnya “seksi” ini hanya menghasilkan pendapatan yang sangat minim. “Kalau begitu orang yang memimpin tidak perlu sekolah tinggi-tinggi amat untuk jadi dirut PPKGBK. Kan cuma nyewa-nyewa dan nyewa, tidak ada pengembangannya,” tegasnya.
Sorotan DPR tidak hanya terfokus pada PPKGBK, tetapi juga meluas ke PPK Kemayoran. Dalam kurun waktu yang sama, PPK Kemayoran tercatat memberikan kontribusi PNBP sekitar Rp227 miliar meskipun mengelola lahan seluas 540 hektare, di mana 165 hektare dari total tersebut dikomersilkan. Dengan asumsi tarif sewa Rp60 ribu per meter, seharusnya hasil sewa dapat mencapai Rp1,1 triliun. “Sementara ini selama 10 tahun kontribusi ke PNBP hanya Rp227 miliar. Kemana yang lainnya?” tanya anggota DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN).
Minimnya kontribusi dari pengelolaan kedua BLU ini mendorong Komisi XIII DPR RI untuk membentuk Panitia Kerja (Panja) PPKGBK dan PPK Kemayoran. Wakil Ketua Komisi XIII Rinto Subekti mengungkapkan tujuan dari pembentukan Panja ini untuk mendapatkan laporan yang lebih rinci mengenai data pendapatan dan kontribusi PNBP dari kedua entitas tersebut.
Direktur Utama PPKGBK, Rakhmadi Afif Kusumo, mengungkapkan bahwa sejak tahun 2014 hingga 2024, kontribusi GBK mencapai Rp435 miliar, yang merupakan 15 persen dari total pendapatan. Rakhmadi menyatakan, “BLU di Indonesia wajib memberikan 15 persen dari seluruh pendapatan setiap tahunnya kepada kas negara.”
Masalah pengelolaan PPKGBK yang dikritik DPR sudah disuarakan oleh Indonesia Audit Watch (IAW), yang mendesak agar pemerintah melakukan audit terhadap PPKGBK dan PPK Kemayoran. Sekretaris IAW, Iskandar Sitorus, mengemukakan bahwa tidak maksimalnya setoran kepada kas negara perlu ditelusuri lebih dalam. “Apakah ini hanya masalah tidak maksimal dari sisi harga sewa lahan atau ada faktor lain?” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa perusahaan-perusahaan swasta yang menyewa lahan PPKGBK maupun PPK Kemayoran kini membayar sesuai dengan harga pasar yang menjadi acuan. Namun, terdapat kekhawatiran bahwa banyak penyewaan lahan di GBK yang transaksi kerjasamanya tidak melalui PPKGBK, melainkan langsung dengan koperasi-koperasi yang ada di dalam PPKGBK.
Sikap DPR yang kritis terhadap pengelolaan aset negara ini menandakan adanya kebutuhan mendesak untuk memperbaiki sistem yang ada agar aset yang berpotensi tinggi dapat memberikan kontribusi yang lebih signifikan bagi negara. Dengan pembentukan Panja dan penekanan untuk audit, diharapkan ada kejelasan dan transparansi dalam pengelolaan aset negara demi menghindari kerugian yang lebih besar di masa mendatang.