Dunia

Dubes Indonesia: Jadikan Indonesia Jembatan BRICS dan OECD

Indonesia kini berada di ambang peran strategis di kancah internasional setelah resmi menjadi anggota BRICS pada 6 Januari 2025. Dalam konteks ini, Duta Besar Indonesia untuk Rusia, Jose Antonio Morato Tavares, menekankan potensi Indonesia sebagai jembatan penghubung antara BRICS dan Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), yang didominasi oleh negara-negara barat. Hal ini disampaikan Tavares dalam diskusi publik bertajuk “BRICS: Menakar Langkah Indonesia” yang dihelat oleh Ikatan Alumni Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran (Ikahi Unpad) pada 23 Januari 2025.

Indonesia, yang telah melamar menjadi anggota OECD pada 2024, kini berhadapan dengan tantangan keanggotaan yang belum disetujui. Tavares meyakini bahwa dengan politik luar negeri yang bebas aktif, Indonesia dapat memanfaatkan hubungan ekonominya di BRICS sembari tetap mempertahankan posisi politik yang netral. “Jembatan ini efektif karena posisi politik luar negeri kita yang bebas aktif,” ungkap Tavares.

Pemerintah Indonesia dapat melihat potensi signifikan dari keanggotaan BRICS melalui beberapa aspek penting:

  1. Sumber Pembiayaan Alternatif: Bergabung dengan BRICS menawarkan akses ke New Development Bank (NDB), yang dapat menjadi sumber pembiayaan untuk proyek-proyek pembangunan strategis di Indonesia. Asisten Deputi Stabilisasi Harga Kementerian Koordinator Pangan, Siradj Parwito, mengungkapkan bahwa dana NDB dapat mendanai proyek berisiko tinggi yang sulit menarik minat investor swasta.

  2. Peningkatan Kerjasama Ekonomi: Keanggotaan di BRICS dapat membuka peluang kerja sama ekonomi baru, baik dengan negara-negara anggota BRICS maupun dalam rangka meningkatkan posisi Indonesia di kancah global.

  3. Perubahan Paradigma Investasi: Siradj menekankan pentingnya membuat proyek-proyek berisiko tinggi menjadi lebih menarik bagi investor melalui pendanaan dari NDB, yang memungkinkan restrukturisasi proyek untuk meningkatkan daya tariknya.

Namun, perjalanan menuju pengakuan sebagai anggota BRICS mendapat kritik. Irman Gurmilang Lanti, seorang staf pengajar politik luar negeri di Unpad, menilai bahwa keputusan untuk bergabung dengan BRICS diambil tanpa melibatkan diskusi publik yang memadai sehingga menimbulkan perdebatan di kalangan masyarakat. “Untung ruginya baru dibahas. Ini jadi terbalik, ibaratnya bukan ‘kuda menarik kereta, tetapi kereta menarik kuda’,” tegas Irman.

Di sisi lain, Irman juga menyatakan bahwa jika dihadapkan pada pilihan antara BRICS dan OECD, keanggotaan OECD mungkin lebih menguntungkan bagi Indonesia. “OECD akan menaikkan peringkat kredit dan membuat investor lebih percaya bahwa uang mereka aman di Indonesia,” ujarnya, menegaskan pentingnya reputasi ekonomi dalam memenangkan kepercayaan investor internasional.

Dalam pandangan akademis, pentingnya sosialisasi mengenai manfaat keanggotaan BRICS diharapkan dapat dilakukan agar semua elemen masyarakat memahami potensi tersebut. Teuku Rezasyah dari Unpad mengusulkan bahwa pendekatan yang inklusif dan pemahaman yang sama di antara pemerintah dan lembaga terkait sangat penting. “Rumuskan semua dalam konstelasi strategis dengan penjabaran yang tepat,” sarannya.

Reza juga menambahkan bahwa BRICS sejalan dengan visi Indonesia memperjuangkan kerja sama selatan-selatan, termasuk deviasi dalam reformasi PBB, yang sering kali berada di bawah dominasi barat. Tantangan yang dihadapi adalah bagaimana Indonesia dapat menyeimbangkan hubungan dengan negara-negara barat sambil memperkuat posisinya di BRICS. Indonesia kini ditantang untuk mengelola kepentingan yang beragam ini sambil tetap bermain sebagai karakter penting dalam perekonomian global yang semakin kompetitif.

Guntur Wibowo

Guntur Wibowo adalah seorang penulis di situs Media Massa Podme. Podme.id adalah portal berita informasi dan aplikasi podcast gaya hidup dan hiburan terdepan di Indonesia.

Berita Terkait

Back to top button