Dugaan Kekerasan Seksual dan Fisik pada Demonstran UU TNI di Malang

MALANG – Aksi demo menolak pengesahan Undang-undang TNI di Kota Malang yang berlangsung pada Minggu malam (23/3/2025) berujung pada kerusuhan dan dugaan kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan. Menurut informasi yang dihimpun, insiden ini dimulai saat demonstran mengklaim mengalami pemukulan serta kekerasan seksual setelah dibubarkan paksa oleh aparat gabungan TNI dan Polri di sekitar Bundaran Tugu Malang.

Koordinator aksi demonstrasi, Rembo, menjelaskan bahwa aksi yang awalnya damai menjadi tegang setelah waktu buka puasa. Ketika tentaranya mulai membubarkan massa, sejumlah demonstran disisir dan diamankan di berbagai lokasi. “Aparat melakukan penyisiran melalui Jalan Gajah Mada dengan jumlah kurang lebih dua pleton, berpakaian lengkap dan membawa alat pemukul. Sejumlah massa aksi ditangkap, dipukul dan mendapatkan ancaman,” tegas Rembo dalam pernyataannya. Tak hanya itu, adanya kekerasan seksual dan ancaman verbal juga dilaporkan oleh tim medis dan pendamping hukum yang berada di lokasi saat peristiwa berlangsung.

Pasca aksi, kepolisian berhasil mengamankan beberapa kendaraan sepeda motor yang ditinggalkan para demonstran. “Belasan kendaraan bermotor milik massa aksi diamankan ke Polresta Malang Kota,” ungkap Rembo menambahkan, dengan penegasan bahwa situasi pasca-demonstrasi menunjukkan adanya ketidakpuasan mendalam dari para demonstran mengenai cara penanganan oleh aparat.

Fatwa Aziz dari LBH Rumah Keadilan Malang memberikan informasi lebih lanjut bahwa hingga pagi hari, masih terdapat tiga orang yang diperiksa intensif di Polresta Malang dari enam orang yang diamankan. “Kami sedang menelusuri lebih jauh mengenai informasi kekerasan fisik dan kekerasan seksual yang dilaporkan,” katanya. Pihaknya juga menyebutkan ada sepuluh orang demonstran yang hilang kontak dan masih dalam pencarian.

Dalam perkembangan kasus ini, Polresta Malang Kota belum memberikan keterangan resmi terkait kronologi kerusuhan dan dugaan kekerasan yang terjadi. Pengamat mencatat bahwa pada pagi harinya, banyak demonstran yang datang ke Polresta Malang untuk mengambil kendaraan mereka yang disita saat aksi.

Sebelum kerusuhan terjadi, demonstrasi dimulai sekitar jam 16.00 WIB dan berlangsung damai hingga menjelang buka puasa. Puncak kerusuhan terjadi sekitar pukul 18.15 WIB, ketika massa mulai melemparkan berbagai barang, termasuk petasan dan bom molotov, ke arah gedung DPRD. Dalam situasi yang semakin tidak terkendali tersebut, aparat keamanan terpaksa menggunakan gas air mata untuk membubarkan massa.

Masyarakat dan berbagai kelompok hak asasi manusia mengamati situasi ini dengan cermat. Mereka menuntut agar proses peradilan berjalan transparan dan ada keadilan bagi para korban yang mengalami kekerasan selama penangkapan. Ulasan ini menunjukkan pentingnya untuk memastikan bahwa tindakan aparat keamanan tetap dalam koridor hukum, terutama dalam penanganan demonstrasi damai yang merupakan bagian dari hak berekspresi setiap warga negara.

Hingga berita ini diturunkan, masyarakat masih menunggu klarifikasi resmi dari pihak berwenang mengenai tindakan yang diambil selama penangkapan demonstran dan pengamanan situasi kerusuhan ini. Diharapkan, langkah-langkah preventif dan penegakan hukum yang manusiawi dapat diterapkan untuk mencegah terulangnya peristiwa serupa di masa depan.

Exit mobile version