Teknologi

Ekonom Ragu, Ekonomi Digital Indonesia Tak Mampu Tembus Rp 3.250 Triliun

Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Nailul Huda, menyatakan bahwa ia ragu dengan proyeksi nilai ekonomi digital Indonesia yang diperkirakan mencapai US$ 200 miliar atau setara Rp 3.250 triliun pada tahun 2030. Perkiraan tersebut diungkapkan dalam laporan eConomy SEA 2024 yang disusun oleh Google, Temasek, dan Bain & Company. Dalam acara BeritaSatu Outlook yang berlangsung di Jakarta, Kamis (30/1), Nailul menyampaikan pandangannya mengenai tren perkembangan ekonomi digital Indonesia.

Menurut Nailul, ekonomi digital Indonesia sudah mencapai titik puncak pada tahun 2021-2022, yang menjadi alasan utama keraguannya terhadap proyeksi yang dikeluarkan. “Sebab, tren ekonomi digital Indonesia sudah mencapai titik puncak pada 2021 – 2022,” jelasnya. Penurunan investasi juga menjadi pertanda bahwa sektor ini mengalami tantangan yang signifikan. Data menunjukkan bahwa investasi di startup Indonesia merosot drastis dari Rp 144 triliun pada 2021 menjadi hanya Rp 63 triliun pada 2022, dan tren penurunan ini masih berlanjut.

Suku bunga yang semakin tinggi juga berkontribusi terhadap menurunnya minat investasi di sektor digital. “Suku bunga progresif mulai tinggi. Kami juga melihat akselerasi digital itu sudah mencapai titiknya pada 2021. Untuk kembali ke level seperti itu, cukup susah. Perlu ada pembaruan,” ungkap Nailul. Hal ini menunjukkan bahwa ada kebutuhan mendesak untuk melakukan inovasi dan peremajaan dalam sektor teknologi.

Meskipun Nailul meragukan penambahan nilai ekonomi digital secara signifikan, ia mencatat bahwa kecerdasan buatan (AI) bisa menjadi sektor yang berpotensi membalik keadaan. Ia mencontohkan DeepSeek, yang mampu mengalahkan OpenAI selaku pencipta ChatGPT dengan biaya pengembangan yang lebih efisien, yakni 30% lebih murah. Penyebutan ini menunjukkan adanya potensi besar di sektor AI, meskipun Nailul mengingatkan tentang kurangnya pengembangan teknologi di Indonesia secara keseluruhan.

Dalam konteks inovasi teknologi, Nailul menunjukkan bahwa posisi Indonesia dalam Global Innovation Index masih tergolong rendah, berada di peringkat 54. Sementara negara-negara tetangga seperti Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Singapura berada di peringkat yang lebih baik, yakni 53, 44, 33, dan 4. Hal tersebut seharusnya menjadi perhatian semua pihak, terutama para pemangku kebijakan dan pelaku industri, mengingat Indonesia memiliki populasi terbanyak se-ASEAN.

“Ini bukti Indonesia kurang di sisi inovasi,” tegas Nailul. Ia menilai bahwa daya tarik raksasa teknologi internasional juga mulai berkurang terhadap Indonesia, yang lebih melirik negara tetangga dengan ekosistem inovasi lebih maju. Hal ini menjadi tantangan besar bagi pengembangan ekonomi digital yang diharapkan dapat memengaruhi pertumbuhan perekonomian nasional secara keseluruhan.

Dalam menghadapi tantangan ini, penting bagi pelaku industri dan pemerintah untuk bekerja sama dalam menciptakan lingkungan yang mendukung inovasi dan investasi pada sektor teknologi. Langkah strategis yang dapat diambil antara lain:

1. Meningkatkan investasi riset dan pengembangan di bidang teknologi.
2. Memberikan insentif bagi startup dan perusahaan yang bergerak dalam sektor inovatif.
3. Mengedukasi masyarakat dan pelaku bisnis tentang pentingnya digitalisasi.
4. Mendorong kolaborasi antara sektor publik dan swasta untuk menciptakan ekosistem yang lebih kondusif.

Dengan langkah-langkah tersebut, diharapkan nilai ekonomi digital Indonesia tidak hanya menjadi harapan semata, tetapi juga dapat direalisasikan dalam bentuk pertumbuhan yang nyata dan berkelanjutan. Namun, saat ini, tantangan besar yang dihadapi sektor ini harus menjadi perhatian serius agar proyeksi yang ada tidak sekadar angka, tetapi bisa menjadi pencapaian yang nyata.

Dimas Harsono adalah seorang penulis di situs Media Massa Podme. Podme.id adalah portal berita informasi dan aplikasi podcast gaya hidup dan hiburan terdepan di Indonesia.

Berita Terkait

Back to top button