Seorang mantan sandera Israel, Noa Argamani, baru-baru ini memberikan kesaksian yang menggugah emosi di Dewan Keamanan PBB mengenai pengalaman traumatisnya selama penahanannya di Gaza. Saat berbicara di hadapan badan internasional tersebut, Argamani mengungkapkan bagaimana serangan udara Israel hampir merenggut nyawanya, menyoroti pentingnya gencatan senjata yang berkelanjutan.
Dalam pernyataan tersebut, Argamani mengingat kembali momen mencekam ketika rumah tempatnya disekap hancur akibat pengeboman. “Saya tidak bisa bergerak, saya tidak bisa bernapas. Saya pikir itu akan menjadi detik-detik terakhir hidup saya,” ungkapnya dengan suara bergetar. Dia menggambarkan situasi ekstrem di mana ia terperangkap di bawah reruntuhan, mengalami rasa panik yang mendalam, namun sekarang berdiri di hadapan Dewan Keamanan adalah sebuah keajaiban baginya.
Argamani dibebaskan pada bulan Juni lalu, setelah delapan bulan ditahan oleh faksi-faksi di Gaza. Operasi militer yang berlangsung di kamp pengungsi Nuseirat menjadi titik balik saat pasukan Israel berhasil membebaskannya bersama tiga sandera lainnya. Namun, hal ini juga mengakibatkan banyak korban di pihak warga sipil Palestina, menambah kesedihan atas situasi yang terjadi di kawasan tersebut.
Dalam konteks yang lebih luas, Argamani menegaskan perlunya kesepakatan yang komprehensif terkait gencatan senjata untuk memastikan bahwa situasi kemanusiaan di Gaza tidak semakin memburuk. “Kesepakatan (gencatan senjata) harus terus berlanjut secara penuh… secara menyeluruh, dalam semua tahapan,” tambahnya. Pernyataan ini didukung oleh utusan PBB untuk Timur Tengah, Sigrid Kaag, yang mengingatkan bahwa semua pihak perlu menghindari kembali terjadinya permusuhan di kawasan tersebut.
Sigrid Kaag, yang menjabat sebagai Koordinator Senior Kemanusiaan dan Rekonstruksi untuk Gaza, juga menyoroti bahwa trauma akibat konflik ini dirasakan oleh kedua belah pihak. Dalam kunjungannya ke Gaza, Kaag menyaksikan kehancuran yang menyedihkan serta rasa putus asa yang dialami oleh penduduk akibat kehilangan yang terus menerus. Ia menekankan, “Trauma tidak dapat disangkal di kedua belah pihak.”
Perjuangan Argamani untuk memberikan pernyataan juga dipicu oleh pemberitaan media yang tidak akurat. Pada akhir Agustus, ia membantah klaim bahwa ia dipukuli oleh anggota Brigade Izz ad-Din al-Qassam, sayap militer Hamas. Melalui akun Instagram-nya, Argamani menjelaskan bahwa luka-lukanya diakibatkan oleh reruntuhan tembok selama pengeboman, bukan akibat kekerasan dari para penjaga selama masa tahanan.
Sementara itu, pasangannya, Avinatan Or, masih dalam penahanan dan diharapkan dapat dibebaskan sebagai bagian dari fase kedua perjanjian gencatan senjata. Fase pertama dari perjanjian tersebut dimulai pada 19 Januari dan diperkirakan akan berlanjut dalam waktu dekat, dengan harapan proses ini dapat membawa keuntungan bagi banyak tahanan lainnya.
Ke depannya, perhatian dunia selayaknya terus diarahkan pada upaya menciptakan kedamaian yang langgeng di kawasan tersebut. Pihak berwenang dan organisasi internasional diharapkan dapat bekerja sama untuk mengurangi ketegangan dan meningkatkan kehidupan masyarakat yang terperangkap dalam konflik ini. Momen-momen seperti penyampaian Argamani di Dewan Keamanan PBB menunjukkan pentingnya suara individu dalam upaya mengakhiri siklus kekerasan, serta mempromosikan perdamaian yang lebih adil di wilayah yang telah lama dilanda konflik.