Dunia

Eropa Ambil Alih Negosiasi Perang Ukraina, Starmer Pimpin Perdamaian

Perdana Menteri Inggris, Keir Starmer, baru-baru ini menekankan bahwa saat ini adalah "persimpangan sejarah" bagi Barat dalam upaya meraih perdamaian di Ukraina. Pada pertemuan puncak di London, yang dihadiri oleh berbagai pemimpin Eropa, termasuk Presiden Prancis Emmanuel Macron, Starmer menggarisbawahi pentingnya tindakan konkret untuk menggantikan pernyataan-pernyataan belaka mengenai negosiasi perang Rusia-Ukraina. Pertemuan tersebut bertujuan untuk mengambil kendali atas negosiasi yang selama ini didominasi oleh Amerika Serikat.

“Ini bukan saatnya untuk lebih banyak bicara. Sekarang waktunya bertindak,” kata Starmer, menegaskan urgensi pertemuan diplomatik tersebut. Ketegangan global meningkat setelah insiden yang melibatkan Presiden AS, Donald Trump, yang mengecam Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky, di Gedung Oval. Reaksi tersebut menimbulkan kepanikan di kalangan negara-negara Barat dan disambut baik oleh Moscow, menambah kompleksitas konflik yang sudah berlangsung lama.

Dalam upaya mengatasi perpecahan yang muncul, Starmer menyatakan bahwa ia bersama dengan Prancis dan beberapa negara Eropa lainnya sedang berkolaborasi untuk merumuskan rencana penghentian pertempuran di Ukraina. Langkah ini diharapkan dapat diajukan kepada AS, namun dukungan Washington masih menjadi kunci dalam implementasinya. Sebagaimana diutarakan Starmer, “Kita tidak bisa membiarkan Rusia menentukan syarat jaminan keamanan sebelum ada kesepakatan; jika tidak, kita tidak akan pernah maju.”

Beberapa poin penting dalam pertemuan yang berlangsung di Lancaster House antara lain:

  1. Persatuan Eropa: Pertemuan ini menandakan upaya Eropa untuk menunjukkan kesatuan dalam menghadapi kritik terhadap cara penanganan krisis Ukraina. Ada keinginan untuk tidak hanya menjadi penonton dalam proses perdamaian, tetapi beraktifitas proaktif.

  2. Dukungan Keuangan untuk Ukraina: Inggris mengumumkan pencairan pinjaman senilai US$2,8 miliar untuk Ukraina, yang akan digunakan untuk memperkuat pertahanan negara tersebut melalui produksi senjata lokal. Lebih lanjut, ada juga kesepakatan yang memungkinkan Ukraina untuk memanfaatkan dana hingga £1,6 miliar untuk membeli rudal pertahanan udara canggih.

  3. Pengembangan Koalisi Negara yang Bersedia: Inggris dan Prancis berencana membentuk “koalisi negara yang bersedia” yang akan terlibat dalam pasca kesepakatan damai di Ukraina. Hal ini diharapkan dapat menjamin keberlangsungan kesepakatan yang dicapai.

Bahkan dengan rencana ambisius ini, Starmer tetap menyadari perlunya keterlibatan AS dalam setiap kesepakatan yang akan dicapai. Ia juga menyampaikan bahwa insiden antara Trump dan Zelensky menunjukkan pentingnya menjembatani perpecahan yang terjadi di antara sekutu.

Dari latar belakang yang terungkap, jelas bahwa pertemuan puncak ini tidak hanya mengupayakan perdamaian tetapi juga membangun kembali hubungan yang tengah rapuh. Pemimpin dari berbagai negara Eropa, NATO, dan Uni Eropa meluruskan fokus untuk menyatukan kekuatan dalam menhadapai ancaman yang ditimbulkan oleh konflik ini.

“Tidak ada yang ingin melihat insiden yang terjadi di Gedung Putih itu. Ini adalah momen sekali dalam seumur hidup bagi keamanan Eropa, dan kita semua harus bertindak,” tegas Starmer saat membuka pertemuan. Komitmen ini diharapkan tidak hanya menjadi pernyataan, tetapi juga aksi nyata untuk mengakhiri kekacauan yang berkepanjangan di wilayah tersebut.

Dengan demikian, langkah Eropa untuk mengambil alih negosiasi menjadi tantangan sekaligus harapan baru bagi stabilitas dan perdamaian di Ukraina. Diharapkan, dengan dukungan semua pihak, kesepakatan yang dihasilkan tidak hanya sekedar selembar kertas, tetapi sebuah komitmen bersama untuk membantu Ukraina dan memperkuat keamanan kawasan Eropa secara keseluruhan.

Guntur Wibowo adalah seorang penulis di situs Media Massa Podme. Podme.id adalah portal berita informasi dan aplikasi podcast gaya hidup dan hiburan terdepan di Indonesia.

Berita Terkait

Back to top button