
Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat saat ini tengah menyelidiki kasus dugaan korupsi terkait pengadaan barang/jasa serta pengelolaan Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) di Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi). Dengan estimasi kerugian negara mencapai Rp 500 miliar, kasus ini berpotensi menimbulkan dampak serius bagi layanan publik, termasuk keimigrasian yang sempat terhambat pada tahun lalu.
Kepala Seksi Intelijen Kejari Jakarta Pusat, Bani Immanuel Ginting, mengungkapkan bahwa pengadaan PDNS tidak mengikuti Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2018 yang mengharuskan pembangunan Pusat Data Nasional, bukan PDNS. Pengadaan tersebut pada dasarnya melibatkan tiga lokasi strategis yang seharusnya dibangun, yaitu Greenland International Industrial Center (GIIC) di Cikarang, Batam, dan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur.
Sejak awal kasus ini mencuat pada tahun 2020, ketika pemerintah menetapkan anggaran pengadaan PDNS sekitar Rp 958 miliar, sejumlah pejabat Komdigi diketahui terlibat dalam pengondisian tender untuk memenangkan PT AL, membawa nilai kontrak yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini mencakup kontrak senilai Rp 60 miliar pada tahun 2020 dan melanjutkan dengan penawaran yang semakin besar yakni Rp 256,6 miliar pada tahun lalu.
Dugaan adanya pengondisian ini diungkapkan lebih lanjut oleh Bani, yang menyatakan bahwa PT AL, meskipun tidak memenuhi syarat persyaratan tertentu, terus dipilih sebagai penyedia utama untuk layanan yang berkaitan dengan komputasi awan. Konfirmasi tentang pembanguna yang tidak sesuai juga muncul dari Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), yang menjadikan penerapan ISO 22301, standar internasional untuk manajemen keberlangsungan bisnis, sebagai persyaratan utama untuk kelaikan.
Situasi ini semakin memanas ketika pada Juni 2024, PDNS mengalami serangan siber berupa ransomware. Insiden ini berdampak langsung pada layanan imigrasi, termasuk pembuatan paspor yang lumpuh total. Selama kejadian tersebut, server PDNS di Surabaya menjadi target utama serangan, dan para hacker meminta tebusan sebesar US$ 8 juta. Ironisnya, setelah serangan tersebut, kelompok hacker Brain Cipher Ransomware menawarkan kunci dekripsi secara gratis, begitu mereka melihat dampak luas yang ditimbulkan kepada masyarakat.
Menariknya, eks Menteri Kominfo Budi Arie Setiadi mencuriga bahwa serangan ini bisa dikaitkan dengan aksi dari bandar judi online. Dalam podcast, ia mengatakan bahwa motivasi hacker untuk menyerang PDNS mungkin terkait dengan langkahnya yang agresif dalam memberantas perjudian online, yang membuatnya dianggap sebagai ancaman bagi kepentingan mereka.
Dua perusahaan besar, PT Telkom Indonesia Tbk dan PT Aplikanusa Lintasarta, yang terlibat dalam proyek pengadaan ini juga memberikan respons terhadap kasus korupsi ini. Keduanya menyatakan kesiapan untuk berkooperasi dengan pihak berwenang demi kelancaran proses penyidikan. Telkom menegaskan komitmennya untuk mengikuti prosedur hukum yang berlaku dan bertanggung jawab atas tata kelola perusahaan yang baik.
Dalam tahap penyidikan yang masih berlangsung, kebangkitan dugaan korupsi ini menunjukkan pentingnya transparansi dalam proyek-proyek pemerintah yang berkaitan dengan teknologi informasi dan komunikasi. Kasus ini memperjelas bahwa masalah tata kelola dan pengawasan terhadap pengadaan barang/jasa publik harus ditingkatkan agar tidak terulang kembali, dan melindungi layanan penting bagi masyarakat, termasuk perlindungan terhadap data pribadi yang berisiko tereksploitasi akibat serangan siber.
Dengan segala perkembangan yang ada, publik menantikan langkah-langkah konkret dari aparat penegak hukum serta evaluasi lebih mendalam mengenai ketahanan infrastruktur teknologi yang saat ini menjadi tulang punggung berbagai layanan vital.