Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mencatat peningkatan pengaduan yang signifikan dari konsumen konser di Indonesia, dengan total 507 aduan yang masuk pada tahun 2024. Lonjakan ini mengisyaratkan adanya masalah serius dalam penyelenggaraan konser di tanah air, terutama terkait dengan kelalaian dan praktik kurang profesional oleh para promotor. Dalam konteks ini, para penggemar Stray Kids, dikenal dengan sebutan STAY, mengekspresikan protes mereka, mengingat pengalaman buruk yang mereka alami saat mencoba menghadiri konser grup idola asal Korea Selatan tersebut.
Kasus ini berawal saat iMe Indonesia, selaku promotor konser DominATE Stray Kids, mengumumkan bahwa acara tersebut akan diselenggarakan di Stadion Madya Gelora Bung Karno, namun kemudian memindahkan venue ke Indonesia Arena. Informasi ini mengecewakan banyak penggemar, dan keputusannya menciptakan kebingungan serta kerugian, setelah terungkap bahwa Stadion Madya GBK bahkan tidak pernah dipesan oleh pihak promotor. Situasi ini mendorong para fans untuk bersuara tentang ketidakpuasan mereka.
Salah satu penggemar, Natha, mengungkapkan kekecewaannya dalam konferensi pers yang digelar pada 24 Januari 2025. Ia menekankan, “Kami mengalami kerugian materiil dan imateriil akibat kelalaian promotor. Penyelenggaraan konser tidak profesional dan penuh permasalahan.” Kekecewaan tersebut tidak hanya dialami oleh penggemar Stray Kids; Natha juga mewakili pengalaman konsumen lainnya yang merasakan kerugian akibat acara musik yang tidak sesuai harapan, termasuk kasus dari konser Band Day6 dan Festival NEVAEVA yang hingga kini belum di-refund.
Dari data yang dihimpun, para konsumen Festival NEVAEVA mengalami total kerugian sekitar Rp1,5 miliar akibat pembatalan tanpa refund. Dalam konteks konser Stray Kids, banyak pengunjung juga mengalami masalah kesehatan akibat kondisi venue yang sesak, di mana beberapa di antaranya pingsan karena tidak memenuhi standar keselamatan yang seharusnya ada dalam penyelenggaraan konser. Natha menyarankan agar pemerintah segera bertindak, mengingat banyak negara lain telah mengalami tragedi di arena konser yang seharusnya bisa dihindari.
YLKI juga menyoroti bahwa banyak promotor beroperasi tanpa adanya transparansi yang jelas. Mereka disebut tidak memiliki akuntabilitas yang memadai, bahkan beberapa tidak memiliki alamat kantor yang jelas, sehingga sulit untuk ditindak apabila terjadi masalah. Ini menunjukkan bahwa sektor konser, meskipun merupakan bagian penting dari ekonomi kreatif, masih belum memiliki standar penyelenggaraan yang memadai. Dengan harga tiket konser yang meroket, mencapai Rp4 juta hingga Rp7 juta, konsumen merasa semakin dirugikan.
Dalam suasana penyelenggaraan konser yang buruk, Natha juga mengungkapkan keprihatinan mengenai praktik promotor yang tidak memberikan penjelasan atau klarifikasi resmi saat muncul masalah. Bahkan, ada dugaan bahwa beberapa promotor membayar buzzer untuk mengklaim bahwa konser berlangsung lancar, berlawanan dengan kenyataan di lapangan yang jauh dari harapan.
STAY dan komunitas penggemar lain kini mendesak pemerintah, termasuk Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) serta DPR, untuk segera merumuskan regulasi yang dapat melindungi konsumen konser. Natha menyatakan, “Konser adalah sektor ekonomi kreatif yang strategis, dengan dampak besar pada pariwisata dan perekonomian. Namun, tanpa adanya regulasi, konsumen tidak mendapatkan perlindungan yang layak.”
Lebih jauh, Natha juga menyerukan kepada promotor untuk meningkatkan standar transparansi dan akuntabilitas. Ia menginginkan adanya mekanisme refund yang jelas, kontrol harga tiket yang wajar, dan sistem ticketing yang profesional. Dengan adanya regulasi yang baik, ia percaya konsumen dapat menjadi lebih kritis dan tidak merasa dirugikan, serta memberikan efek jera bagi promotor yang lalai dalam mengelola acara.