
Gazprom, raksasa gas asal Rusia, kini menghadapi tantangan besar dalam upayanya untuk bangkit dari kerugian yang mencapai Rp210,5 triliun. Kerugian ini merupakan akumulasi dari kinerja buruk selama dua tahun berturut-turut, yang dipicu oleh dampak perang Rusia-Ukraina yang telah merusak ekspor energi perusahaan.
Menurut data dari Russian Accounting Standards (RAS), Gazprom tercatat mengalami kerugian bersih sebesar 1,076 triliun rubel, yang setara dengan USD 12,89 miliar. Penurunan drastis ini sebagian besar disebabkan oleh penurunan nilai pasar saham di divisi minyaknya, Gazprom Neft. Pada tahun 2023, Gazprom kembali mengalami kerugian yang lebih parah, menjadi yang pertama dalam 24 tahun, akibat sanksi Uni Eropa. Ekspor gas ke Eropa mencatat penurunan hingga 55% dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yang menjadi penyebab utama kerugian yang terus menggunung.
Sebagai langkah untuk bertahan, Gazprom melakukan berbagai upaya penghematan biaya. Perusahaan tersebut mulai memangkas biaya operasional dan mempertimbangkan untuk memotong jumlah karyawan, termasuk staf administrasi yang diperkirakan dapat berkurang hingga 40%. Pada bulan Januari, Gazprom mengonfirmasi bahwa mereka tengah mempertimbangkan untuk menjual beberapa aset properti mewah, termasuk hotel-hotel yang biasa digunakan untuk memberi penghargaan kepada karyawan dan menyelenggarakan konferensi.
Salah satu langkah signifikan yang juga diambil oleh Gazprom adalah menjual kantor pusat ekspor yang bergaya palazzo di St Petersburg. Penurunan permintaan energi dari kawasan Barat membuat langkah ini semakin mendesak dilakukan. Sebelumnya, Gazprom Export memiliki sekitar 600 karyawan sebelum invasi ke Ukraina, tetapi kini hanya tersisa beberapa lusin.
Kondisi keuangan Gazprom semakin tertekan dengan hilangnya pendapatan dari sektor ekspor energi, di mana banyak pihak mulai mempertanyakan masa depan perusahaan. Laporan internal Gazprom yang diperoleh Financial Times menyebutkan bahwa pemulihan pendapatan dari sektor ekspor tidak akan terjadi sebelum tahun 2035. Hal ini disebabkan oleh kesulitan Gazprom dalam menemukan pasar alternatif yang dapat menggantikan keuntungan yang sebelumnya diperoleh dari Eropa.
Di tengah krisis ini, Rusia berusaha meningkatkan hubungan perdagangan dengan China untuk mengimbangi hilangnya bisnis ekspor energi dari Eropa. Namun, hal ini juga memiliki tantangan tersendiri, di mana China dapat memiliki lebih banyak kuasa dalam negosiasi harga, sementara Rusia kesulitan menemukan pembeli yang bersedia membayar harga yang menguntungkan.
Strategi Gazprom untuk mencari pasar baru dan mengurangi ketergantungan pada Eropa merupakan langkah kritis, tetapi situasinya tidak mendukung. Beberapa analis berpandangan bahwa meski gencatan senjata dapat membuka jalan bagi pencabutan sanksi, hal tersebut belum tentu membuat Eropa berralih kembali menjadi konsumen utama energi Rusia. Dengan adanya pemasok baru dan perkembangan energi alternatif yang semakin gencar, transisi ini menjadi semakin sulit.
Dengan seluruh upaya yang dilakukan untuk memulihkan keadaan, Gazprom kini berada di persimpangan yang menentukan. Perusahaan harus menyesuaikan strategi dan inovasi untuk menghadapi tantangan yang ada agar bisa kembali bangkit di tengah lingkungan pasar yang semakin sulit. Ketidakpastian yang melingkupi sektor energi global membuat langkah-langkah yang diambil Gazprom menjadi sorotan utama, baik domestik maupun internasional.