
Tim pencari menemukan semakin banyak jenazah di reruntuhan bangunan, seminggu setelah gempa bumi yang mengguncang Myanmar dengan kekuatan 7,7 skala Richter pada 28 Maret. Tragedi ini mengakibatkan lebih dari 3.100 orang tewas dan ribuan lainnya mengalami cedera, sementara krisis kemanusiaan di negara tersebut kian mendalam akibat perang saudara yang berkepanjangan. Dalam konteks ini, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendesak masyarakat internasional untuk meningkatkan pendanaan darurat guna membantu korban.
Kepala operasi kemanusiaan PBB, Tom Fletcher, tiba di kawasan bencana pada hari Jumat dalam upaya untuk mempercepat tindakan kemanusiaan setelah bencana tersebut. Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, pula menekankan perlunya akses tanpa hambatan untuk menjangkau para korban. “Gempa bumi telah memperparah penderitaan yang sudah ada, terutama dengan musim hujan yang akan segera tiba,” ungkapnya.
Menurut informasi dari pihak berwenang Myanmar, jumlah korban tewas tercatat sebanyak 3.145 orang, dengan lebih dari 4.589 orang terluka dan 221 orang dilaporkan hilang. Angka ini kemungkinan akan terus berubah seiring penemuan jenazah di lokasi-lokasi yang terdampak. Upaya penyelamatan juga sedang dilakukan dengan melibatkan berbagai tim internasional, termasuk delapan tim medis dari negara-negara seperti Tiongkok, Thailand, dan Indonesia, yang beroperasi di Naypyitaw.
Sebagai respons terhadap krisis ini, Inggris telah memberikan bantuan senilai $13 juta serta berkomitmen untuk menambah dana sebesar $6,5 juta atas permintaan Komite Darurat Bencana Myanmar. Sementara itu, Amerika Serikat juga menjanjikan bantuan darurat sebesar $2 juta dan mengirim tim kecil untuk menilai situasi di lapangan.
Gempa ini tidak hanya mempengaruhi Myanmar, tetapi juga mengguncang negara tetangga, Thailand, di mana sejumlah bangunan mengalami kerusakan. Sebanyak 22 orang dilaporkan tewas dan 35 lainnya cedera di Bangkok, terutama dari lokasi konstruksi.
Krisis ini semakin parah karena lebih dari 3 juta orang telah mengungsi dari rumah mereka, dan hampir 20 juta orang membutuhkan bantuan kemanusiaan, bahkan sebelum gempa bumi terjadi. PBB mencatat bahwa perang saudara yang berkecamuk sejak militer Myanmar merebut kekuasaan dari pemerintahan terpilih pada tahun 2021 telah menciptakan situasi yang sangat mengkhawatirkan bagi penduduk sipil.
Dengan meningkatnya kekhawatiran bahwa pertempuran akan mengganggu bantuan kemanusiaan, militer Myanmar mengumumkan gencatan senjata sementara hingga 22 April. Namun, serangan udara baru-baru ini dilaporkan terjadi di negara bagian Kayah, menjadi indikasi ketegangan yang masih ada di lapangan. Militer menyatakan akan mengambil tindakan tegas jika terdapat upaya untuk menggunakan gencatan senjata sebagai kesempatan bagi kelompok perlawanan untuk berkumpul dan mempersiapkan serangan.
Dalam kondisi seperti ini, keterlibatan internasional sangat dibutuhkan untuk membantu Myanmar mengatasi tidak hanya akibat bencana alam, tetapi juga dampak dari konflik bersenjata yang terus berlangsung. Keberangkatan Tim Fletcher dan seruan Guterres kepada masyarakat internasional adalah langkah awal untuk memobilisasi sumber daya guna menyelamatkan nyawa dan memberikan dukungan kepada milyaran orang yang terjebak dalam situasi krisis. Pendanaan yang cepat dan akses penuh diperlukan agar upaya bantuan manusia dapat segera direalisasikan di lapangan, demi memulihkan kehidupan yang telah hancur dalam konflik berkepanjangan dan bencana alam yang mengerikan ini.