
Seoul, Podme.id – Generasi muda Korea Selatan semakin menunjukkan ketidakpastian tentang pernikahan dan kelahiran anak, solusi bagi peningkatan angka kelahiran yang terus menurun di negara tersebut. Studi terbaru dari Institut Penelitian Populasi Semenanjung Korea (KPPIF) mengungkapkan bahwa kecemasan ini didorong oleh berbagai tantangan sosial dan ekonomi yang dihadapi oleh individu berusia muda. Laporan ini dirilis pada 11 Maret 2025 dan menganalisis lebih dari 50.000 unggahan anonim di platform komunitas pekerja muda, Blind, dari akhir 2017 hingga November 2024.
Temuan dari studi tersebut cukup mencolok, menunjukkan sikap negatif mayoritas generasi muda terhadap pernikahan. Sekitar 32,3% unggahan menyampaikan perasaan sedih, 24,6% merasa takut, dan 10,2% merasakan jijik ketika menyebutkan pernikahan. Hanya 9,3% dari unggahan tersebut yang mengekspresikan kebahagiaan terhadap pernikahan. Hal serupa juga terjadi dalam konteks kelahiran anak, di mana lebih dari 60% unggahan bersifat negatif. Rincian lebih lanjut menunjukkan bahwa 23,8% merasa jijik, 21,3% merasa takut, dan 15,3% merasa sedih ketika membahas topik tersebut. Mencengangkannya, 70% unggahan terkait pengasuhan anak juga menunjukkan sentimen negatif.
Dari analisis ini, para ahli KPPIF menyimpulkan bahwa faktor finansial menjadi kendala utama yang menghalangi generasi muda Korea untuk menikah dan membangun keluarga. Dalam konteks ini, kata “uang” muncul dalam 30% dari unggahan mengenai pernikahan dan 13,2% tentang keinginan untuk memiliki anak. Kecemasan ini seiring dengan tren baik angka kelahiran yang menurun dalam beberapa tahun terakhir. Meskipun ada sedikit peningkatan di angka kelahiran, KPPIF memperingatkan bahwa tren ini mungkin hanya bersifat sementara akibat dampak pascapandemi.
Sebuah survei terpisah dari Kantor Koordinasi Kebijakan Pemerintah menunjukkan bahwa keinginan untuk menikah pada tahun 2024 turun sebesar 12% dibandingkan dengan dua tahun lalu, sementara keinginan untuk memiliki anak juga menurun sebesar 4%. Penurunan ini mencerminkan kekhawatiran mendalam di kalangan generasi muda, yang juga berdampak pada kebijakan pemerintah.
Sebagai respons terhadap data-data yang menunjukkan penurunan minat terhadap pernikahan dan keluarga, penjabat Presiden Korea Selatan, Choi Sang-mok, mengumumkan berbagai kebijakan baru guna mendukung generasi muda. Beberapa kebijakan yang diumumkan antara lain:
– Prioritas naik pesawat bagi keluarga dengan tiga anak atau lebih saat bepergian ke luar negeri.
– Pasangan yang baru menikah dan keluarga dengan anak baru akan mendapatkan prioritas dalam program pembelian perumahan sosial.
Selain itu, pemerintah juga akan menguji coba program yang melibatkan 5.000 warga senior di wilayah metropolitan Seoul untuk membantu pengantaran anak-anak ke sekolah, sebagai respons terhadap kebutuhan akan layanan penitipan anak yang semakin meningkat. Kebijakan ini diharapkan dapat meringankan beban ekonomi dan sosial yang dihadapi oleh pasangan muda, serta mendorong peningkatan angka kelahiran.
Namun, pertanyaan mengenai efektivitas kebijakan ini masih tetap mengemuka di kalangan masyarakat. Masyarakat menilai bahwa meskipun berbagai langkah telah diambil, tantangan yang dihadapi generasi muda Korea Selatan masih banyak. Faktor seperti biaya hidup yang tinggi, tekanan sosial, dan harapan untuk menikmati kehidupan perorangan sebelum berkomitmen pada pernikahan menjadi pertimbangan penting.
Oleh karena itu, situasi ini menjadi perhatian besar bagi pemerintah dan masyarakat. Dalam menghadapi krisis demografis, generasi muda Korea Selatan tampaknya masih kesulitan untuk melihat masa depan yang cerah terkait pernikahan dan kelahiran anak. Di saat yang sama, perjuangan untuk mendapatkan solusi memadai atas tantangan yang ada terus berlangsung.