Imam An-Nawawi, yang dikenal dengan nama lengkap Abu Zakaria Yahya bin Syaraf, lahir di Nawa pada pertengahan bulan Muharam tahun 631 H. Nawa, sebuah daerah di Damaskus, menjadi saksi perjalanan awal kehidupan seorang ulama besar yang kelak dikenal luas karena karya-karyanya. Sejak kecil, Imam Nawawi telah menunjukkan bakat dan ketekunan dalam menuntut ilmu. Ketika berusia sepuluh tahun, dia lebih memilih menghabiskan waktu mempelajari Al-Qur’an daripada bermain dengan teman sebayanya, sebuah pertanda awal dari dedikasinya yang luar biasa.
Ayah Imam Nawawi memasukkannya ke dalam toko untuk belajar berjualan. Namun, ketertarikan Imam Nawawi kepada ilmu agama jauh lebih mendominasi, sehingga ia lebih memilih menghafalkan Al-Qur’an di sela-sela aktivitasnya. Perpindahan ke Damaskus pada tahun 649 H menjadi titik balik bagi perjalanan akademiknya. Di kota ini, dia tinggal di asrama untuk siswa dan belajar berbagai kitab, termasuk At-Tanbih dan Al-Muhadzab.
Dalam perjalanan intelektualnya, Imam Nawawi mempelajari berbagai disiplin ilmu dari sejumlah guru ternama. Dalam bidang fikih, di antaranya ada Abu Ibrahim Ishaq bin Ahmad dan Abu Muhammad Abdurrahman bin Nuh. Sementara itu, dalam ilmu ushul fiqih, ia belajar dari Al-Qadhi Abu al-Fath, yang mengajarkan kitab-kitab penting bagi perkembangan intelektual Imam Nawawi. Adapun dalam bidang hadis, ia mengenyam pendidikan dari berbagai ulama, termasuk Syaikh al-Muhaqqiq Abu Ishaq.
Kemampuan serta dedikasinya dalam belajar membuat Imam Nawawi memiliki banyak murid, yang di antaranya adalah Alauddin bin al-Aththar dan Shadr ar-Rais al-Fadhil. Hubungannya dengan mereka tidak sekadar sebagai guru-murid, tetapi juga sebagai penyalur pengetahuan yang bermanfaat bagi perkembangan ilmu agama. Imam Nawawi selalu menekankan pentingnya menuntut ilmu dengan sungguh-sungguh dan berkontribusi kepada masyarakat melalui ajaran-ajarannya.
Karya-karya tulisan Imam Nawawi diakui luas sebagai warisan intelektual yang signifikan. Beberapa kitab yang terkenal antara lain “Riyadh ash-Shalihin”, “Arbain an-Nawawi”, dan “Syarah Muslim”. Karya-karya ini menampilkan keahliannya dalam menyajikan ilmu fikih dan hadis dengan cara yang mudah dipahami. Dalam situasi dunia yang senantiasa berubah, karya-karya tersebut tetap relevan dan digunakan sebagai referensi oleh banyak kalangan hingga saat ini.
Imam Nawawi dikenal sebagai sosok yang sederhana dan tidak mementingkan penampilan. Dia lebih memilih hidup serba cukup dan menghabiskan waktunya untuk belajar dan mengajarkan ilmu. Banyak orang yang terkesan dengan akhlaknya, yang mencerminkan ketawadhuan dan kesungguh-sungguhannya dalam mencari ridha Allah.
Di samping mengamalkan ilmu yang dimiliki, Imam Nawawi juga dikenal sebagai penggerak dalam mempromosikan amalan yang sesuai dengan sunnah Nabi Muhammad SAW. Banyak ulama dari berbagai daerah mengakui keteladanan dan integritasnya dalam membela kebenaran, serta keteguhannya dalam menghadapi tantangan yang ada.
Imam Nawawi meninggal dunia pada usia muda, yaitu sekitar 45 tahun. Namun, warisannya dalam bentuk kitab-kitabnya dan pengaruhnya pada dunia Islam sangat mendalam. Melalui karya-karyanya, Imam Nawawi telah menjadi panutan banyak generasi setelahnya. Hingga kini, sosoknya diingat sebagai seorang ulama yang bertanggung jawab dalam menyebarluaskan pengetahuan dan mendidik umat Islam menuju kebaikan. Dengan demikian, perjalanan hidup dan kontribusi Imam Nawawi menjadi bukti nyata dari pentingnya pendidikan dan semangat menuntut ilmu dalam Islam.