
JAKARTA – Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia menghadapi kondisi darurat kejahatan seksual, dengan laporan kasus yang meningkat secara signifikan. Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni menegaskan bahwa tindakan pelecehan dan kekerasan seksual sudah menjadi masalah besar yang melibatkan berbagai lapisan masyarakat, termasuk profesi yang seharusnya melindungi, seperti guru, dokter, dan polisi.
Sahroni mengungkapkan keprihatinan mendalamnya terhadap maraknya kasus-kasus ini. “Belakangan ini, kita lihat aksi pelecehan seksual kian marak terjadi dan dilakukan oleh semua golongan. Dari mulai guru, dokter, polisi, sampai yang disabilitas. Jadi ini sudah mengkhawatirkan sekali,” ujar Sahroni dalam keterangan resmi yang disampaikan pada Minggu (13/4/2025).
Sebagai respons terhadap situasi ini, Sahroni mendorong aparat penegak hukum dan lembaga pemerintah terkait untuk meningkatkan sosialisasi terkait Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Ia menegaskan pentingnya pengetatan hukuman bagi pelaku kejahatan seksual, demi menciptakan efek jera. “Beberapa hal yang harus kita tingkatkan adalah para penegak hukum harus benar-benar serius dalam menanggapi laporan kejahatan seksual, tidak boleh ada penolakan dan percepat penyidikannya,” tegasnya.
Sahroni juga mengusulkan agar identitas lengkap pelaku kejahatan seksual diungkap ke publik, guna meningkatkan transparansi dan mendorong korban untuk melapor. Ia menyarankan bahwa pelaku harus dijerat dengan pidana maksimal, termasuk penerapan hukuman kebiri kimia bagi mereka yang melakukan kejahatan terhadap anak.
“Bahkan kalau korbannya anak, sesuai UU, pelaku bisa dikebiri kimia. Nanti juga akan kita pertimbangkan apakah hukuman ini juga bisa diterapkan pada kasus pidana umum, karena memang urgency-nya tinggi,” imbuhnya.
Kasus terbaru yang menyoroti krisis ini adalah tindakan pemerkosaan yang dilakukan oleh PAP (31), seorang dokter Pendidikan Dokter Spesialis Anestesi di Universitas Padjadjaran (Unpad) yang menggunakan modus dibius untuk melakukan aksinya. Selain itu, kasus mantan Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja, turut menambah daftar panjang pelanggaran yang mengejutkan. Ia diduga terlibat dalam kasus pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur dan terlibat dalam pornografi serta narkoba, dengan tindakan mencabuli anak-anak dan merekam aksi tersebut untuk disebarluaskan di situs porno.
Penggunaan kekerasan dalam bentuk seksual terhadap anak dan kaum rentan lainnya menunjukkan perlunya penanganan yang lebih tegas. Data yang diperoleh dari berbagai sumber menunjukkan tren kenaikan kasus kejahatan seksual yang sangat mengkhawatirkan. Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) mencatat bahwa jumlah laporan kasus kejahatan seksual pada anak meningkat hingga 30% dalam dua tahun terakhir.
Untuk mengatasi masalah ini, penting bagi masyarakat untuk meningkatkan kesadaran dan pendidikan mengenai kekerasan seksual. Pelaksanaan pendidikan seks yang komprehensif di sekolah-sekolah serta kampanye kesadaran di media sosial sangat diperlukan untuk membekali anak-anak dan masyarakat umum tentang pentingnya perlindungan diri dan cara melaporkan kekerasan.
Legislasi dan peraturan yang ada juga perlu ditegakkan dengan serius. Mengingat banyaknya pelaku yang berasal dari kalangan profesional, seperti dokter dan polisi, dibutuhkan langkah-langkah pencegahan yang lebih efektif serta pelatihan bagi penegak hukum agar mampu menangani kasus-kasus ini dengan baik.
Kondisi darurat kejahatan seksual di Indonesia mencerminkan kebutuhan mendesak untuk mereformasi tidak hanya hukum, tetapi juga edukasi publik dan dukungan bagi korban. Para legislator dan penegak hukum diharapkan dapat bekerja sama demi menciptakan lingkungan yang lebih aman bagi semua warga negara, khususnya bagi mereka yang paling rentan.