Indonesia di Era AI: Menyongsong Peluang dan Tantangan Global

Indonesia tengah berada pada posisi yang strategis dalam era kecerdasan buatan (AI), di tengah persaingan global antara raksasa teknologi Amerika Serikat dan Cina. Di saat dua negara tersebut memimpin dalam pengembangan AI dengan berbagai inovasi mutakhir seperti ChatGPT dan DeepSeek, Indonesia masih berada di tahap awal dalam penggunaan dan pengembangan AI. Menurut riset Gartner, rakyat Indonesia sudah mulai mengenal AI, namun kebanyakan masih menggunakan model yang sudah tersedia secara publik tanpa melakukan kustomisasi signifikan.

Di Indonesia, beberapa perusahaan teknologi seperti Indosat dan GoTo telah mengambil langkah untuk memasuki tahap pengembangan yang lebih tinggi. Indosat mengembangkan sejumlah produk berbasis AI, seperti Sahabat-AI dan Digital Intelligence Operation Center, sementara GoTo menggunakan AI untuk meningkatkan pengalaman pelanggan melalui analisis data dan prediksi permintaan. Meskipun demikian, ainda ada banyak tantangan yang harus dihadapi oleh Indonesia untuk memanfaatkan potensi AI secara maksimal.

Menurut Abhinaya Putri, Lead Analyst Podme Insight Center, jumlah perusahaan yang telah memasuki tahap shaper dan maker dalam framework pengembangan AI masih tergolong sedikit. Tahapan ini melibatkan pengintegrasian model AI dengan data dan sistem internal untuk mendapatkan hasil yang lebih spesifik sesuai kebutuhan. Sementara itu, survei Oliver Wyman pada 2023 mengungkapkan bahwa sekitar 50% karyawan di Indonesia menggunakan AI setidaknya sekali dalam seminggu, sebuah angka yang lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata global.

Namun, optimisme masyarakat terhadap AI di Indonesia mengalami penurunan. Meskipun 83,6% responden dalam survei Podme Insight Center menyatakan bahwa mereka familiar dengan AI, hanya 25,1% yang memiliki pengetahuan moderat dan 13,1% yang digolongkan sebagai pengetahuan tingkat lanjut. Perbedaan ini sangat dipengaruhi oleh faktor sosial ekonomi, pendidikan, dan geografis. Misalnya, hanya 6,3% dari kelompok dengan status sosial ekonomi rendah yang menunjukkan pemahaman yang baik tentang AI, dibandingkan dengan 38,8% di kelompok dengan status lebih tinggi.

Lebih jauh, Indonesia belum memiliki regulasi yang jelas dalam pengembangan AI. Kementerian Komunikasi dan Digital baru menerbitkan surat edaran mengenai etika penggunaan AI di tahun 2023. Keterlambatan ini sebenarnya bisa menjadi peluang bagi Indonesia untuk belajar dari praktik negara lain dalam menetapkan regulasi yang lebih baik dan terarah. Menurut para ahli, regulasi diperlukan untuk memastikan pengembangan AI yang bertanggung jawab, tetapi juga seyogyanya tidak terlalu ketat sehingga dapat menghambat inovasi.

Adopsi AI di sektor media, seperti yang dilakukan oleh Liputan 6, menunjukkan bahwa AI dapat meningkatkan efisiensi dalam proses pembuatan berita. Namun, tantangan tetap ada, termasuk memastikan bahwa praktik kerja tetap mengikuti kaidah jurnalistik. “Walaupun AI sangat bermanfaat, kami tetap prihatin tentang isu hak cipta,” ungkap Ellin Yunita Kristanti, Pemred Liputan 6.

Dalam menilai posisi Indonesia di pasar global AI, para ahli mengemukakan bahwa ada beberapa tahap pengembangan yang perlu dipahami, yaitu pelatihan, inferensi, dan fine-tuning. Proses pelatihan memerlukan kapasitas komputasi yang besar, yang sayangnya masih menjadi tantangan bagi Indonesia. “Saat ini, investasi besar-besaran dalam pelatihan model AI masih didominasi oleh Amerika Serikat dan Cina,” ujar Otto Toto Sugiri, CEO DCI Indonesia.

Faktanya, Indonesia perlu memanfaatkan peluang ini untuk melangkah lebih jauh dalam pengembangan AI, membangun infrastruktur yang mendukung, serta meningkatkan pemahaman masyarakat tentang kecerdasan buatan. Dengan mempersiapkan diri secara baik, Indonesia tidak hanya dapat mengejar ketertinggalan dalam pengembangan AI, tetapi juga dapat berkontribusi pada inovasi global, menjadikan Tanah Air sebagai salah satu pemain penting dalam ekosistem AI di masa depan.

Exit mobile version