
Pembuat baterai Northvolt yang berbasis di Swedia telah mengambil langkah drastis dengan mengajukan kebangkrutan, yang disebabkan oleh tidak terjadinya kesepakatan dengan investor untuk penyelamatan finansial perusahaan. Keputusan ini menandai titik akhir dari ambisi Northvolt untuk menjadi pemimpin dalam pemerintahan energi hijau Eropa – sebuah proyek yang didirikan pada tahun 2016 dengan tujuan mengurangi ketergantungan Eropa terhadap baterai dari Tiongkok untuk kendaraan listrik.
Berita menyedihkan ini mengakibatkan sekitar 5.000 karyawan terancam kehilangan pekerjaan, memperlihatkan dampak langsung dari krisis finansial yang melanda. CEO sementara Northvolt, Tom Johnstone, mengekspresikan rasa kesedihan atas situasi yang dihadapi karyawan dan perusahaan, dengan menyatakan, “Ini adalah hari yang sangat sulit bagi semua orang di Northvolt. Kami bertekad untuk membangun sesuatu yang inovatif — untuk mendorong perubahan nyata dalam baterai, kendaraan listrik, dan industri Eropa yang lebih luas serta mempercepat transisi menuju masa depan yang hijau dan berkelanjutan.”
Namun, meskipun ada niat yang kuat untuk menciptakan inovasi, Northvolt menghadapi beberapa tantangan berat yang menghalangi jalannya. Menurut mantan CEO, Peter Carlsson, perusahaan memerlukan lebih dari 1,2 miliar dollar AS untuk kembali ke jalur yang benar – suatu angka yang menggambarkan besarnya krisis finansial yang dihadapi. Sejumlah faktor penyebab kebangkrutan termasuk kenaikan biaya modal, ketidakstabilan geopolitik, gangguan rantai pasokan, hingga pergeseran permintaan pasar yang berdampak pada pendanaan dari investor.
Dalam beberapa waktu terakhir, Northvolt telah mencoba untuk mengamankan pendanaan demi mempertahankan operasional pabriknya di Skelleftea, namun sayangnya, upaya tersebut tak membuahkan hasil positif. Pesatnya permintaan baterai yang mengendur, terkait dengan kebijakan subsidi pemerintah yang berubah, membuat sejumlah investor menarik diri dari komitmen mereka. Bahkan, pemerintah Swedia pada tahun lalu menolak memberikan subsidi yang besar untuk mendukung keberlanjutan Northvolt.
Kondisi yang sulit ini menunjukkan betapa rentannya industri baterai dan kendaraan listrik di Eropa, yang diharapkan bisa menjadi tulang punggung transisi energi hijau. Dengan kebangkrutan Northvolt, pabrikan Eropa terpaksa kembali bergantung pada produsen asing, seperti dari Tiongkok dan Korea Selatan. Data menunjukkan bahwa kapasitas produksi Northvolt diperkirakan akan meningkat hingga empat kali lipat pada akhir dekade ini, yang kini tampak meragukan, terutama setelah pengumuman kebangkrutan ini.
Selain Northvolt, beberapa perusahaan lain dalam industri EV juga mengalami tekanan serupa. Pembuat truk dan kendaraan listrik, seperti Nikola, juga telah menyatakan perlindungan kebangkrutan di AS, mencerminkan tantangan berkelanjutan dalam skala biaya dan akuisisi pasar.
Perang antar produsen baterai menjadi semakin nyata ketika Scania, pelanggan utama Northvolt, yang baru-baru ini menyuntikkan modal ke dalam bisnis, kini telah mengalihkan pasokan dari pabrikan baterai lain. Ini menambah beban bagi Northvolt, yang dulunya dipandang sebagai komponen kunci dalam transisi hijau Eropa.
Krisis yang menimpa Northvolt juga menjadi cerminan lebih luas tentang tantangan yang dihadapi oleh industri baterai di Eropa. Sejak diterapkannya kebijakan seperti US IRA, Eropa masih belum memiliki strategi komprehensif untuk meningkatkan kapasitas produksi lokal. Julia Poliscanova, Director Senior di Transport & Environment, mengemukakan, “Eropa harus segera mengatasi masalah lokalitas dalam produksi baterai agar ketergantungan terhadap luar negeri dapat berkurang.”
Dengan kegagalan Northvolt, masa depan industri baterai Eropa kini diragukan, dan karyawan yang terancam diharapkan dapat segera mendapatkan informasi dan dukungan terkait langkah selanjutnya amid ketidakpastian yang melanda industri ini.