
Industri perhotelan di Indonesia saat ini menghadapi tantangan yang cukup berat, terutama dalam menarik minat wisatawan mancanegara. Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Hariyadi Sukamdani, mengungkapkan bahwa meskipun Indonesia memiliki potensi besar dalam sektor pariwisata, berbagai kebijakan pemerintah yang kurang mendukung justru semakin menekan permintaan di sektor ini.
Dalam sebuah acara yang disiarkan oleh Podme.id, Hariyadi menyebutkan bahwa negara-negara ASEAN lainnya, seperti Thailand, Malaysia, Singapura, dan Vietnam, telah berhasil meningkatkan daya tarik mereka di mata wisatawan asing. Sebagai contoh, Thailand mampu mendatangkan 35,5 juta wisatawan pada tahun 2024, sedangkan Vietnam yang masih tertinggal dari Indonesia pada tahun 2017 kini telah berhasil menarik 17 juta wisatawan setiap tahunnya. Di sisi lain, jumlah wisatawan asing yang mengunjungi Indonesia pada tahun 2024 diperkirakan hanya mencapai 13,9 juta, sebuah angka yang masih jauh dari potensi maksimalnya.
Keunggulan kompetitif Indonesia dalam sektor perhotelan sebenarnya terletak pada jumlah kamar hotel yang lebih banyak dibandingkan Thailand. Namun, hasil nyata dari keunggulan ini belum terlihat. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa tingkat okupansi hotel berbintang di Indonesia hanya mencapai 52,57%, sedangkan untuk hotel non-bintang bahkan lebih rendah, yaitu 26,59%.
Hariyadi menegaskan bahwa pasar hotel berbintang lebih diminati oleh masyarakat, terutama karena faktor kenyamanan dan kebersihan. Meski demikian, potensi hotel non-bintang masih bisa dimanfaatkan, terutama dalam pengembangan desa wisata, yang dapat memberikan pengalaman unik bagi wisatawan.
Namun, tantangan lainnya juga muncul dari kebijakan perpajakan yang dianggap tidak mendukung pertumbuhan industri pariwisata. Hariyadi mencatat, meskipun sektor perhotelan berkontribusi signifikan melalui pajak daerah, dana tersebut sering kali tidak dialokasikan kembali untuk promosi atau perbaikan destinasi wisata. Hal ini menyebabkan pengembangan sektor pariwisata semakin terhambat.
Kebijakan visa yang ketat juga menjadi penghalang signifikan dalam meningkatkan jumlah pengunjung. Saat ini, Indonesia masih membatasi kebijakan visa untuk negara-negara ASEAN, berbeda dengan Thailand yang menerapkan bebas visa untuk 85 negara. Menurut Hariyadi, pemerintah seharusnya lebih fokus pada manfaat ekonomi dari peningkatan jumlah wisatawan daripada hanya mengejar pendapatan dari visa. Ia memberikan contoh dari kebijakan di Turki yang memberikan berbagai insentif untuk menarik wisatawan, yang membuahkan hasil dengan jumlah pengunjung mencapai 55 juta orang pada tahun 2024.
Sementara itu, Hariyadi juga menyoroti pentingnya mendorong pengembangan desa wisata sebagai salah satu cara untuk meningkatkan daya tarik pariwisata Indonesia. Dengan banyaknya desa wisata yang tersedia, ada peluang besar untuk mengembangkan ekonomi lokal sekaligus menarik lebih banyak wisatawan.
Secara keseluruhan, industri perhotelan dan pariwisata di Indonesia perlu mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah untuk menciptakan kebijakan yang mampu mendorong pertumbuhan sektor ini. Dengan penyesuaian strategi dan fokus yang tepat, Indonesia memiliki potensi untuk kembali bersaing dengan negara-negara tetangga dalam menarik wisatawan mancanegara. Diperlukan dukungan dalam bentuk promosi yang lebih baik, insentif bagi wisatawan, dan perbaikan infrastruktur untuk mewujudkan hal ini.
Dalam konteks persaingan yang semakin ketat di sektor pariwisata ASEAN, langkah-langkah konkrit perlu segera diambil agar industri perhotelan Indonesia tidak semakin terpuruk dan tetap menjadi salah satu pilar penting dalam perekonomian nasional.