Kasus kanker anak di Indonesia menjadi sorotan serius di kalangan medis dan masyarakat. Berdasarkan data terbaru dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), tingkat survival rate atau tingkat kelangsungan hidup penderita kanker anak di Indonesia hanya berada di angka 25 persen. Angka ini sangat kontras bila dibandingkan dengan negara maju yang dapat mencapai 80 persen. Hal ini menunjukkan adanya tantangan besar yang perlu diselesaikan di sektor kesehatan anak di Indonesia.
Fenomena ini mencerminkan ketimpangan dalam infrastruktur kesehatan yang ada. Ketua Hematologi-Onkologi IDAI, Dr. Eddy Supriyadi, Sp.A(K), Ph.D, mengungkapkan bahwa rendahnya survival rate disebabkan oleh beberapa faktor, termasuk perbedaan biologis dan cara pengobatan kanker antara anak-anak dan orang dewasa. Kanker pada anak memiliki karakteristik yang berbeda, di mana faktor genetik kerap menjadi penyebab utama dan deteksi dini menjadi sulit karena gejalanya muncul tiba-tiba.
Beberapa faktor yang berkontribusi pada rendahnya survival rate kanker anak di Indonesia adalah:
Keterlambatan diagnosis: Sebagian besar kasus kanker anak baru terdeteksi pada stadium lanjut, yang membuat pengobatan menjadi lebih sulit dan kurang efektif. Proses rujukan ke fasilitas kesehatan yang memadai juga sering kali memakan waktu hingga tiga bulan, menambah tingkat risiko bagi pasien.
Keterbatasan fasilitas kesehatan: Di luar Pulau Jawa, akses terhadap layanan kesehatan yang specialized, terutama untuk penanganan kanker, masih sangat terbatas. Misalnya, di Kalimantan hanya terdapat dua pusat kanker di Balikpapan dan Banjarmasin, sementara daerah seperti Papua, Maluku, NTT, dan NTB belum memiliki fasilitas yang memadai untuk menangani kasus kanker anak.
Kurangnya sumber daya dan dana: IDAI menekankan perlunya pemerintah untuk meningkatkan alokasi anggaran kesehatan khususnya untuk penanganan kanker anak. Tanpa dukungan yang kuat dari pemerintah, upaya penanggulangan kanker anak akan sangat terhambat.
- Sosialisasi dan edukasi: Banyak orang tua yang belum memahami tanda-tanda awal kanker pada anak, yang menyebabkan mereka terlambat membawa anak untuk mendapatkan pemeriksaan medis. Edukasi masyarakat tentang pentingnya deteksi dini dan pengenalan gejala kanker perlu ditingkatkan.
Dengan semua tantangan ini, IDAI menyerukan kepada pemerintah dan pihak terkait untuk lebih memperhatikan dan mendukung perbaikan infrastruktur kesehatan, terutama dalam penyediaan fasilitas yang lebih merata di seluruh Indonesia. Hal ini sangat penting agar setiap anak, tanpa memandang di mana mereka tinggal, dapat menerima perawatan yang tepat dan memadai.
Dr. Eddy juga mencatat bahwa perbedaan dalam pengobatan antara anak dan dewasa harus menjadi fokus perhatian. Kanker pada anak seringkali ditangani dengan pendekatan yang berbeda dibandingkan dengan kanker pada orang dewasa, dan ini memerlukan tenaga medis yang terlatih serta fasilitas yang sesuai.
Dalam menghadapi krisis tersebut, IDAI berharap agar inisiatif perbaikan kesehatan memprioritaskan akses yang lebih baik untuk semua anak di Indonesia, terutama di daerah-daerah yang kurang terlayani. Keberhasilan dalam peningkatan infrastruktur kesehatan dan sistem rujukan yang lebih baik diharapkan dapat berkontribusi pada peningkatan survival rate kanker anak di masa depan.
Dengan demikian, perhatian serius terhadap infrastruktur kesehatan dan upaya penguatan sistem kesehatan di seluruh wilayah Indonesia menjadi sangat penting untuk memperbaiki nasib anak-anak yang berjuang melawan kanker. Upaya kolaboratif antara pemerintah, masyarakat, dan lembaga kesehatan akan menjadi kunci dalam mencapai tingkat survival yang lebih baik bagi anak-anak Indonesia.